"Jangan ngelamun deh plis," kata Azura.

Syakila menghentikan hayalannya, ia menatap Azna yang duduk di meja depan, tepatnya dua meja di depan mereka. Azna sedang bercanda gurau dengan lelaki, tunggu, lelaki itu adalah lelaki yang Syakila kagumi.

"Sebenarnya, di antara tiga cowok itu kamu milih yang mana Na?" tanya Syakila yang lebih tepat berupa gumaman saja, karena Azna tak mungkin mendengar ucapannya barusan.

Sementara itu, Azna dengan asyik tertawa dengan Anaz juga Arshaq, lengkap dengan Denis. Erik tidak dapat ikut, karena ia sedang tidur di kelas.

"Eh bentar deh bentar, ada yang liatin kita lo ukhty bar-bar," ungkap Denis bahkan ia sudah memberi semat panggilan untuk Azna.

"Siapa?" Semua orang di meja kompak melihat ke arah mata Denis memandang.

Azna memberi senyuman kepada Syakila, walau ia tahu tidak akan terbalaskan.

"Ukhty bar-bar, kok dia malah buang muka sih? Kan kita senyumin dia?" tanya Denis, cowok satu ini memang seperti cowok jadi-jadian. Lelaki, tapi cerewet, alay lagi.

"Iya, kok gitu sih?" Kini Arshaq ikut bertanya, entah kenapa ia ikut penasaran dengan cewek yang membuang muka.

"Dia ... dia temen sekelasku. Oh, sampai lupa. Dia suka sama kamu Shaq, mungkin dia kira aku di sini ada rasa juga sama kamu," ujar Azna, ia mengigit bibir bawahnya.

"Oh," sahut Arshaq.

Tanggapan Arshaq sungguh di luar dugaan Azna, ia jadi gelisah sendiri.

"Lo mau pesen apa?" tanya Anaz.

Anaz tahu, Azna sedang tidak tenang. Entah karena apa, Anaz sendiri tidak tahu.

Azna mengacungkan tangan, memanggil pedagang seraya berkata, "Mbak! Mbak! yuhu!"

Anaz geleng-geleng. "Kalau jadi perempuan itu jangan keras-keras ngomongnya."

"Oh gitu ya?" Azna menghentikan aksinya memanggil pedagang mana kala mendapat teguran dari Anaz.

Azna kembali melambaikan tangan. "Mbak, saya mau pesen," kata Azna pelan.

Arshaq terkikik, perkataan Azna barusan terlalu pelan, bahkan mungkin hanya ke tiga cowok ini yang mendengar.

Anaz menghela nafas." Nggak harus gitu juga Na, kalo gitu mah, sampe lebaran kucing nggak akan ada yang nyamperin," jelasnya.

"Terus gimana? tadi katanya jangan keras-keras. Sekarang pelan-pelan salah juga," kata Azna sambil memanyunkan bibirnya.

"Gini, maksudnya seorang cewek itu minimal ngomongnya lembut," jelas Anaz kembali.

"Oh, sebelum Azna ngomong harus di ulek dulu biar lembut ya?" tanya Azna. Ia benar-benar merasa bodoh saat di dekat pria yang ia sukai.

Denis dan Arshaq tertawa terbahak-bahak saat memandang wajah Anaz yang cemberut seolah memberi isyarat 'tolong gue'.

"Nggak harus di ulek juga kali ukhty bar-bar," timpal Denis.

"Maksudnya, kalo ngomong itu suaranya nggak usah koar-koar kaya pake toa. Terus, kalo memang butuh orang, samperin orangnya, bukan malah teriak-teriak kaya di hutan,"  terang Anaz.

"Gitu ya? maaf ya Naz, pasti malu punya temen cewek kaya Azna," ujar Azna melemah.

"Nggak kok, gue suka sama lo," ungkap Anaz, tanpa sadar akan perkataannya barusan.

"Cie, sama-sama suka," kata Denis.

Anaz tidak ada niat menggubris ucapan Denis, ia justru menahan malu sambil merasakan dadanya yang terus berdebar.

Azna pun sama, ia malah terlihat malu-malu kucing. Kedua pipinya telah merona.

"Lucu banget sumpah muka lo berdua," ungkap Arshaq, tawanya sama sekali belum reda.

Azna menjitak Arshaq tepat di pelipis, hingga mengaduh kesakitan. Beberapa pengunjung kantin saat itu juga ikut prihatin terhadap Arshaq yang dijitak seenaknya.

"Arshaq gila!" teriak Azna melengking, mereka sudah menjadi pusat perhatian beberapa siswa.

Anaz segera mencomot gorengan, lalu ia masukkan ke mulut Azna bertepatam saat ia sudah selesai memgucapkan kalimat 'Arshaq gila'.

Azna memandang Anaz dengan tatapan membunuh. "Stts, anak perempuan nggak boleh?" tanya Anaz.

"Teriak-teriak," sahut Azna tanpa minat. Mood makannya hancur dalam sekejap.

"Udah akh, mending ke masjid yuk! Udah waktunya nih," kata Anaz, tak lupa ia mengajak Azna.

Ke tiga cowok dan satu cewek tersebut bubar, ia melangkah keluar kantin berpasangan-Azna dengan Anaz, Arshaq dengan Denis- tanpa bergandengan tangan di antara Azna dan Anaz.

Perjalanan mereka menuju masjid di sekolah ini mengundang banyak persepsi. Ada yang mengatakan bahwa pasangan ini memiliki hubungan. Ada yang mengatakan mereka cocok, tapi bukan Arshaq sama Denis, Melainkan Azna dan Anaz. Ada juga yang mengatakan hanya sebatas teman, mengingat Azna dengan siapapun akan akrab, sekalipun dengan orang yang baru ia temui hari itu juga.

Merasa menjadi sorot perhatian siswa, Azna berjalan sambil tersenyum juga menyapa siswa yang melewatinya. Sekarang, Azna merasa menjadi ratu, yang dikawal oleh bodyguard. Azna terkikik geli membayangkanya.

Azna berjalan sempoyongan, ia rasa sakitnya mulai kambuh, tapi Azna mencoba menahan rasa sakitnya dengan senyuman. Tanpa sadar, hidung Azna sudah mengeluarkan darah, ia segera memegang hidungnya sekedar memastikan. Ternyata benar, darah tersebut telah mengalir, Azna ambruk tepat di pelukan Anaz. Ia dengan sigap menggendong tubuh Azna menuju UKS. Ia khawatir.

*******

Yey, up lagi nih!

Lagi super kilat auto up, sebenarnya udah nulis dari bulan sebelumnya, tapi di revisi lagi di revisi lagi. Biar bener-bener matang.

Salam hangat dari author, kiss.
Makasih udah mau mampir, jangan lupa hargai kehaluanku yang sudah menggebu-gebu.

I'm Fine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang