XIII. Penyesalan Berujung Maaf

405 45 2
                                    


   Kalin tiba di depan gedung apartemen dan segera berlari masuk ke dalam lift. Gadis itu melirik jam tangannya dan mendesah cemas. Sudah lewat sepuluh menit dari pesan yang dikirimkan Farish padanya. Kalin meremas tangannya kuat-kuat. Farish pasti marah. 

    Ketika pintu lift terbuka, Kalin segera melangkah keluar. Langkahnya terhenti saat tak melihat seorang pun di depan apartemennya. Farish tak ada sejauh matanya memandang. 

    Ponsel Kalin tiba-tiba berbunyi. Satu pesan masuk dari Farish. 

    “Tadinya aku memang mau nunggu kamu, tapi aku dapet kabar kalau temen aku yang masuk rumah sakit. Jadi aku kepaksa pergi.”

    Kalin menghela napas panjang. Gadis itu terengah-engah. Susah payah ia menahan sesak di dadanya. Perlahan, ia berjalan mendekati pintu apartemennya dan memasukkan password. Setelah pintu terbuka, Kalin langsung masuk dan menutup pintu rapat-rapat. 

    Gadis itu merosot duduk dan bersandar di daun pintu. Kata-kata Elang tadi terngiang kembali di telinganya.

    “Lo langsung buru-buru lari pas dia bilang dia lagi nungguin lo? Lo lari sekenceng itu seolah-olah lo nggak mau kalau lo sampe telat satu menit pun. Apa lo lupa? Dia udah ngebuat lo nunggu berjam-jam! Terus, dengan entengnya dia nge-chat lo, bilang ke lo kalau dia nggak bisa datang. Setiap kali lo nge-chat dia, lo harus nunggu berjam-jam juga buat dapetin balesan dari dia. Dan setiap lo nelepon, nomornya pasti sibuk! Lo ini bego apa tolol? Apa lo sama sekali nggak curiga? Apa lo nggak curiga kalau dia punya cewek lain??!”

    Kalin memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang. Kedua bola matanya terasa perih. Entah mengapa, ia ingin menangis saat ini. 

*** 

    “Loh, Lin? Kamu nggak sarapan dulu?” tegur Kikan yang melihat Kalin sedang mengenakan sepatu sekolahnya. Gadis itu sama sekali tak menyentuh sarapan yang sudah disiapkan Kikan. Wajahnya terlihat tidak seperti biasanya. Lebih lesu dan kurang bersemangat. 

    “Kalin masih kenyang. Semalem udah makan banyak soalnya.” sahut Kalin. Kikan tak memperpanjang lagi. Gadis itu segera sibuk membereskan dapur dan bersiap pergi kuliah. 

    “Kalin berangkat, Mbak.” pamit Kalin sembari berdiri dan melangkah keluar apartemen. 

    Kalin berjalan gontai menuju lift. Matanya sempat terpaku pada pintu apartemen 701 yang tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda yang menyatakan Elang akan keluar dari sana. 

    Kalin menghela nafas lalu masuk ke dalam lift. Semalam, Farish bilang akan mengusahakan mengantarnya ke sekolah, tapi subuh tadi laki-laki itu mengiriminya pesan dan mengatakan ada keperluan mendadak dan harus pergi ke luar kota. 

    Senyum getir tersungging di sudut bibir Kalin. Curiga? Ia mulai memikirkan kata-kata Elang semalam. 

    Begitu pintu lift terbuka, Kalin langsung melangkah keluar. Tangannya merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Sepi. Tak ada panggilan atau pesan dari siapapun. Termasuk dari tetangganya yang menyebalkan. 

    Kalin tiba di halte bus yang masih sepi. Nampaknya ia berangkat terlalu pagi. Gadis itu segera duduk di salah satu bangku yang berjajar rapi di halte tersebut. Bus mungkin akan datang beberapa menit lagi. 

    Kalin memandangi lagi ponselnya. Masih sepi. Apa tetangga itu tak berniat mengirimnya pesan selamat pagi? Biasanya laki-laki itu selalu mengirim pesan bila tak sempat menyapanya langsung. Apa dia marah? 

    Kalin ingat semalam ketika Elang membentaknya lalu ia balas membentak dan menyuruh laki-laki itu menjauh dari kehidupannya. Mendadak, Kalin merasa bersalah. 

Romantika TetanggaWhere stories live. Discover now