Kilas 15 : Pagi Yang Cerah Namun Terasa Sendu

563 142 1.1K
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Mega putih berarak, menuntun monokrom di matanya untuk berlabuh sejenak. Menemani langkah panjang dengan kepulan embun pagi ketika terik siang belum menyerang. Dimi mengembus napas berat, hadapan netranya disambut oleh rumah berdominan putih tulang. Meski sepi kala itu menjelang, tetapi tak membuat Dimi berbalik pulang.

Tempat ini tidak pernah berubah sejak ia menginjakkan kaki di sana semula, alfa sekaligus omega bagi ruang pinta. Namun, mendadak Dimi menghentikan gerakannya yang hendak mengetuk pintu, seolah ada sesuatu yang menahan tangannya di udara.

Banyak pertimbangan yang memenuhi pikiran, tentang risiko yang harus ia hadapi setelahnya, atau tentang penolakan yang siap ia terima. Meski menautkan dua opsi, pilihannya terasa gusar untuk semua hal yang tersumber. Antara mengetuk pintu dan meninggalkan harap yang berlalu.

Belum sempat pilihannya terutarakan, riuh decit pintu yang terbuka disertai hunjaman sang netra dingin lebih dulu menyapa. Tetapi, bukan gadis jangkung dengan paras jelita yang berlabuh di sana, melainkan lelaki tua yang tak tersemogakan.

"Ngapain lo pagi-pagi ke rumah gue?" tanya Aldo tak bersahabat. Netra kelabunya menatap Aldo sengit, lebih tajam dan kelam dibanding milik Agatha. Tanpa sadar membuat jantung Dimi saling bertalu karena intimidasinya.

"Gue nyari Agatha," balas Dimi tenang. Menempatkan diri untuk tidak mengeluarkan emosi. Meski ia tahu, bahwa Aldo terlihat waspada seakan-akan Dimi membawa hal-hal buruk padanya.

"Ada di dalam. Kenapa nyari adek gue?" Lelaki itu mengangkat alis, garis bibirnya tak menampikkan ekspresi apapun. Tidak ada keramahan, apalagi senyuman. Yang terpamer hanyalah bagaimana ia memandangnya setajam kulit durian.

Pintu dibuka semakin lebar, namun bukan untuk menyilakan. Aldo memindahkan seluruh bagain tubuhnya ke luar persil rumah, sebelum ia menutup kembali dengan debuman yang tersisa.

"Kemarin jaket Agatha ketinggalan, Bang. Ini pengen gue balikin, sekalian mau bawa dia keluar bentaran." Kalimat penuh permohonan itu terurai tanpa keraguan. "Gue boleh masuk?"

"Masuk aja. Dia lagi sarapan. But as you know, Agatha nggak semudah itu buat ketemu orang. Jadi gue nggak akan bantu kalau dia ngusir lo tiba-tiba." Aldo mengangkat dagu rangah. "Lagipula, gue mau cabut sekarang."

Tanpa menoleh barang sedikit ke arahnya. Sorot kelabu itu seolah-olah menyentak tajam. Namun, bagaimana cara ia memberi kata laksanakan versi tak berbicara, Dimi tidak perlu banyak tanya.

Ah, mereka terlalu banyak bersandiwara. Dengan topeng tanpa warna yang luruh menjadi anila tak berperasa.

Lelaki itu terdiam, panas di tubuhnya tak sudah terselesaikan. Usai menelan mentah-mentah egonya yang terlupakan, kata gengsi seolah teredam jauh dan tak hinggap di permukaan. Lalu Dimi kembali membuka suara. "Makasih banyak, Bang."

Kilasan ✓ (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now