23

4.8K 695 76
                                    

"Setiap hari, kita gampang menemui seseorang yang berjanji lalu mengingkari.
Bahkan, bersikap seolah hal itu tak pernah terjadi.
Padahal, bisa jadi, janji itu sangat dinanti."

- Nurul -

Hari ini, aku bertemu dengan seorang penulis yang kebetulan satu kota denganku. Kami akan mendiskusikan perihal naskahnya yang sedang aku garap. Selain terikat dengan penerbit indie, aku juga menerima jasa editor lepas. CEO penerbit indie tempat aku bekerja baik hati, sehingga mengambil pekerjaan editor selain dari mereka diperkenankan.

Aku dan penulis yang memakai nama pena C.I.U itu sepakat bertemu di salah satu kafe yang sedang booming di kotaku. Baru dibuka, murah dan sedang diskon pula. Mengendarai si Minnie, sepeda motor matic yang sudah setia menemaniku dengan jiwa, sama dengan merknya. Bukan iklan.

"Hi." Aku menyapa ketika melihat seseorang yang sesuai dengan di foto profil WhatsApp C.I.U.

"Lama, ih." C.I.U yang terlihat lebih muda dariku menekuk wajahnya, kesal. Bahkan sapaanku diabaikannya.

"Maaf," ujarku lantas duduk di kursi yang berada di depannya.

"Emang semacet itu? Perasaan nggak, deh." Omelannya berlanjut.

"Nggak macet, kok. Tapi, bukannya kita sepakat bertemu jam empat? Sekarang masih jam empat kurang kan?" Aku menjawab sopan, masih sabar.

Dia tak menyahut, hanya menggerakkan bibirnya dengan BT.

"Coba cek, deh." Kemarahanku mulai mencuat dari pori-pori.

Dia melakukan apa yang aku minta dan hanya mendesah kasar, tahu bahwa aku benar.

"Yaudah, trus naskah saya gimana?" Dia mengalihkan topik. Tipe manusia yang tak mau minta maaf.

Aku hanya tersenyum kecut lalu mengeluarkan disk lepas dan laptop. Pekerjaan yang aku kerjakan dengan hati-hati, aku tunjukkan dengan bangga. Dan ia tampak menyimak dengan seksama.

"Ish, kok gitu, sih? Kan, saya bilang, bagian ini tak usah diganti. Kesel, ih!" Dia mulai protes.

"Eh? Bukannya kamu yang minta bagian itu diubah? Saya hanya menuruti apa yang kamu mau, lho." Aku menjelaskan.

"Ih, kapan?" Dia tak mengaku.

"Ini, lho!" Aku mengeluarkan handphone dan menunjukkan bukti chat kami yang untungnya belum aku hapus.

Dia hanya berdecak lalu melihat lagi hasil kerjaanku. Tidak minta maaf. Kesal, setiap lima menit dia memprotes hasil kerjaku yang berujung pada keinginannya untuk mengurangi jumlah bayaran. Seharusnya dia membayarkan uang lima ratus ribu, tetapi hanya dia berikan setengahnya.

"Nggak boleh gitu, dong." Aku tak terima.

"Ih, apa sih? Kerjaan nggak becus kok nuntut bayaran full?" Ia berkata angkuh.

"Lah, kesepakatannya kan begitu, lagipula saya sudah menyelesaikan naskah anda sesuai deadline dan keinginan anda. Jangan egois, dong!" Aku marah, tak terima. Persediaan kesabaran milikku sepertinya sudah tipis, nyaris kosong.

Kami terus berdebat dan seperti pengecut, dia pergi begitu saja. Aku yang tak ingin menimbulkan keributan hanya menghela napas panjang seraya melihat uang dua ratus lima puluh ribu rupiah yang ditinggalkannya di meja.

"Yasudah, rezeki hari ini cuma segini." Pedih, aku mengatakan kenyataan pahit itu.

Aku membereskan barang-barangku lalu keluar. Belum sempat ke tempat parkir, aku melihat C.I.U dihadang oleh beberapa orang.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now