26

4.5K 704 97
                                    

"Tidak miskin, tidak kaya, tapi sudah banyak gaya.
Hiduplah sesuai kemampuan, bukan kemauan."

- Nurul -

Seharian, Aini tidak di rumah, hijrah ke rumah tetangga. Entah apa yang dilakukannya di sana. Angkasa juga dibawa. Aku sendirian di rumah, tidak ada jadwal mengajar. Cuma berdiam diri di kamar sembari menonton drama Korea sebagai pelipur lara.

Aku tidak keberatan jika Aini sekali-kali, main ke rumah tetangga, bersosialisasi. Namun perempuan itu sepertinya menjadi lupa waktu. Memang, sekali-kali dia pulang, sekadar membuat susu untuk Angkasa lalu pergi lagi. Namun, dia melalaikan hal-hal yang sepatutnya dikerjakan. Memasak atau beberes rumah misalnya.

Aku menghela napas, menatap tumpukan sampah di kamar Aini. Mulai dari tisu basah, popok bau pesing hingga debu. Aku bergidik, merinding membayangkan bagaimana dia atau bang Yusuf bisa tidur di kamar yang berantakan dan kotor seperti itu. Semalas-malasnya aku, ada debu sedikit saja di lantai atau kasur, aku tak bisa tenang.

Siang hari, ketika bang Yusuf pulang, Aini juga pulang. Perempuan itu melayani suaminya, menyediakan dan menunggui makan. Biasanya, dia akan menitipkan Angkasa padaku atau Tila saat memasak makanan untuk bang Yusuf. Namun akhir-akhir ini seperti menjauhkan anaknya dariku atau Tila. Dia seolah enggan jika kami yang menjaga Angkasa.

Aku tidak ingin berburuk sangka bagaimanapun dia adalah istri dari saudaraku. Namun, Tila juga mengungkapkan hal serupa.

"Mbak Ai berubah ya, Mbak," ujar Tila tadi malam.

"Berubah gimana? Dia belum jadi power ranger atau baking powder, Til," sahutku bercanda.

"Bukan, dia sering nggak di rumah, main mulu ke rumah tante Iri. Suka belanja baju baru dan akhir-akhir ini, dia nggak mau kalau Angkasa aku jaga," curhat Tila.

"Perasaanmu aja," hiburku.

"Nggak, Mbak. Aku serius." Tila tampak serius.

"Sudahlah, mungkin dia lagi butuh suasana baru. Biarin aja, sebaik apapun tetangga, kalau sedang susah, yang bantu tetap saudara atau keluarga." Aku mencoba memberikan nasehat bijak.

Tila hanya menghela napas tanpa memberikan pernyataan lanjutan. Memang, aku merasakan hal yang sama dengannya. Namun aku tak ingin hubungan kami bertiga menjadi tidak akur atau awkward.

Setelah bang Yusuf pergi, Aini juga pergi lagi. Sepertinya, dia memang sudah terkontaminasi virus tidak betah di rumah yang sering kebanyakan menimpa ibu rumah tangga. Beruntung, setiap siang, bang Yusuf selalu pulang sehingga Aini terpaksa memasak.

Bang Yusuf, kakakku, seorang sales. Untuk menghemat biaya makan, lelaki itu sengaja pulang setiap makan siang. Dengan demikian, uang makan selama sebulan tidak akan dipakai, lumayan untuk tambahan untuk membeli susu atau popok bayi. Begitu kata bang Yusuf pada mamak waktu itu.

"Dek!"

Aini tergopoh-gopoh kembali ke rumah, mencariku yang sedang terharu karena adegan sedih di drama Korea.

"Kenapa, Dek? Kok matamu berkaca-kaca?" tanyanya heran melihatku berlinang air mata.

"Nggak apa-apa, Mbak. Lagi sedih nonton drama," jawabku.

"Oh, aku kira kenapa," katanya lega.

"Kenapa? Ada apa manggil?" tanyaku.

"Ayo ke rumah Tante Iri, lihat baju. Murah dan bagus-bagus, Dek." Aini terlihat antusias.

"Nggak, deh, Mbak. Nggak punya uang," tolakku.

"Lihat aja dulu. Ayolah!" Aini memaksa.

"Ya sudah." Aku terpaksa mengiyakan lalu mengikuti Aini yang sudah jalan duluan.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang