11. Dongeng

4.5K 1K 139
                                    

Berdua diatas motornya, adalah pekerjaan yang aku sanggupi setiap hari setelah mengenal dia. Hihi, haha.

"Katanya gak pernah, belajar dari mana?!" kutanya dia.

"Dari Dery."

"Kamu ciuman sama Dery?!!!"

"Najis! Dia cerita ke aku 'kan ini, apa... dia legend player." katanya.

Diam aku setelahnya, tapi dia kembali buka suara.

"Udah, ya, An."

"Udah apa?"

"Udah, jangan minta yang kayak gitu lagi. Nanti aku kepikiran, nanti kalo mau lagi gimana?! Alah siah! Bahaya," katanya heboh sendiri.

Dibalik tubuhnya aku cuma diam sambil nahan ketawa. Aduh, dia ini, kenapa, sih?! Kenapa harus dibahas lagi, aku 'kan malu, tau!

"Adi,"

"Hm?"

Kau harus tau bahwa aku selalu menyukai suaranya yang berat. Betul-betul menyukainya!

"Gak jadi." he he, aku cuma mau dengar suaranya saja sih.

"An,"

"Hm?"

"Gak jadi."

"Kamu mah ngikutin!"

Dia ketawa, "Aku mau bikin puisi sebenernya buat kamu,"

"Tapi?"

"Yang kesatu, lupa. Yang kedua, lupa aku gak bisa bikin puisi."

"Yang ketiga?" tanyaku.

"Persatuan Indonesia."

"Pancasila itu mah!"

"Pinter!"

"Serius, Di."

"Asli, kelupaan, maaf ya. Kadang aku kalo lagi kerja jadi susah fokus ke yang lain. Gak lagi kerja aja sih, kalo lagi ngerjain apa juga, aku kadang cuma bisa fokus sama satu." jelasnya.

Pantas, dia memang kebut kerjanya akhir-akhir ini, jenis kerjanya dia ini freelance yang kejar target.

"Maaf, ya," ulangnya. "Yang." sambungnya.

"Hah?"

"Maaf."

"Ih bukan itu!" kataku.

"Apa?"

"Kamu tadi bilang apa?"

"Apa? Maaf, aku bilang maaf."

Berdesis panjang dulu aku, "Kesananya apaaaa?" geram.

"Gak ah, gak ada siaran ulang." elaknya, menyebalkan.

Aku jelas dengar dia panggil aku apa tapi ingin dengar saja lagi. Haha, hihi.

"Aku gak bisa bikin puisi, kalo ngawangkong mah semoga bisa lah,"

"Coba," kataku.

"Banyak yang aku perhitungkan sewaktu dulu aku mau kamu jadi pacar aku, aku udah ngebayangin rupa-rupa, An. Aku udah ngumpulin lagu-lagu galau kalo kamu nolak aku."

"Lebay!"

"Asli, lebay tapi nyata!" setujunya. "Soalnya aku orang yang kalau kepikiran, ya terus kepikiran."

"Sok lanjut,"

"Tapi ternyata kamu nerima aku, waktu itu aku mau ngasih apa gitu sama kamu, bunga atau coklat kayak orang lain. Tapi waktu itu uang aku dipake traktir Dery soalnya aku udah janji kalau kamu nerima aku, Marlboro sebungkus buat dia." masih dongengnya.

Aku terkekeh pelan membayangkan apa yang diceritakannya.

"Tapi aku gak punya uang lagi waktu itu, jaman sekolah aku belom mikir harus bisa hidup. Dasar, coba kalo dagang bala-bala!" keluhnya.

Aku betulan ketawa! Kenapa harus bala-bala?! Ada-ada saja anak manusia!

"Udah gitu, kita pacaran, terus..."

"Terus apa?" kutanya.

"Bentar, iklan dulu." bersamaan ia ubah arah laju. "Aku sanggup kalau harus bikin kamu bahagia, tapi yang gak pernah aku pikirin adalah, aku bisa apa enggak."

"Maksudnya?"

"Katanya bahagia tanggung jawab masing-masing, tapi aku mau kamu bahagia. Aku sanggup, An, cuma aku bisa gak. Aku sanggup karena aku bisa berusaha, tapi hasilnya bisa gak bikin kamu, atau orang-orang disekitar kamu dukung kamu bahagia sama aku, gitu. Aku suka kepikiran soal itu. Terus satu lagi, yang akhir-akhir ini aku baru sadar."

"Apa?"

"Nganterin kamu pulang."

"Emang kenapa kalo nganterin aku pulang?"

"Ibaratnya kalau kamu rumah, aku mau pulang ke kamu, tapi kamu juga masih harus pulang ke rumah kamu. Jadi..." dia sepertinya ambil nafas panjang. "Aku bakal nungguin sampai kamu jadi rumah aku."

Semua ujarnya sampai kedalam dada.

"Kesimpulan dari semuanya, gak ada hahah. Aku cuma sayang kamu, An." tuturnya.

"Ngomongnya kenapa gak nanti aja?" tanyaku.

"Justru sengaja sekarang."

"Biar apa?"

"Biar gak malu aku!" jawabnya, dasar!!!!

Kami sampai didekat rumahku. Turunlah aku lalu—tunggu sebentar, kenapa matanya berlapis selaput bening?

"Itu mata kamu—"

"Apa? Oh, kelilipan tadi." potongnya sambil buru-buru mengusap matanya. "Di blok depan tadi, An, yang ada pasir yang lagi renov."

Dia bohong.

"Masuk cepet," suruhnya.

Tapi kutatap dulu ia, anak manusia paling lapang dada sealam semesta. Kupeluk dia!

"Aku lebih sayang kamu."

Setelah kulepas, kudapati dia tersenyum.

"Udah ah, aku pulang ya,"

"Sok, hati-hati."

"Hati-hati akunya atau hatinya?" tanyanya.

"Dua-duanyaaaa..."

Lugas hormat, "Assalamualaikum, dari hati."

"Waalaikumsalam, dari ampela!"

Dia melotot dulu, lalu tersenyum.

"Heureuy wae, ah!" katanya.




































"Heureuy wae, ah!" katanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sepuluh Ribu SenjaWhere stories live. Discover now