Arka mengerutkan dahinya. Ia cukup merasa aneh dengan sikap papanya itu. Pak Prasaja tiba-tiba berubah menjadi seperti mamanya.

"Takut?"

"Enggak."

"Terus?"

"Percuma. Arka ijin juga pasti enggak dibolehin pergi."

"Oh, ya?"

Pak Prasaja menumpu kaki kirinya ke kaki kanan. "Papa bakal ijinin kamu kalau emang kamu perginya dengan tujuan yang jelas dan enggak aneh-aneh. Kalau kamu perginya buat main-main dan enggak penting buat kehidupan kamu, baru Papa enggak kasih ijin."

Arka kembali makan.

"Contoh, ijin pergi les. Papa pasti kasih ijin," lanjut pria itu.

Arka memutar bola matanya malas.

Ngelawak, nih, orang tua.

"Pergi belajar, ngerjain tugas kelompok, atau mau pergi ke tempat Galuh atau Fiko, terserah mau kemana dengan tujuan yang baik-baik, Papa ijinin. Ke rumah Mas Nara juga Papa ijinin."

Arka segera menoleh. Matanya berbinar.

"Tapi buat belajar sama Mas Nara. Kalau cuma mau ngapelin adeknya, ya, itu udah lain lagi."

Binar mata Arka seketika meredup. Ucapan papanya sama saja.

Terdengar suara notif pesan di ponsel Arka. Arka membukanya. Ternyata balasan dari Naura. Gadis itu menanyakan kepastian Arka untuk mengantarnya pergi ke toko buku siang ini.

"Adeknya Nara?"

Arka menoleh lagi. Terheran-heran dengan tebakan papanya yang sangat tepat.

"Kenapa?" tanya Pak Prasaja sebab anaknya itu hanya diam.

"Enggak," jutek Arka. Arka tak membalas pesan itu dan menyimpan ponselnya.

"Kok enggak dibalas? Malu ada Papa?"

Arka menyerngitkan dahinya. Ia benar-benar asing melihat sang papa. Pak Prasaja berubah menjadi cerewet di matanya.

"Kamu masih suka sama Naura?"

"Kepo." Arka memberanikan dirinya membalas seperti itu pada papanya.

Pak Prasaja melirik punggung anak semata wayangnya itu. "Memang kenapa? Papa enggak boleh kepo? Kalau kamu emang benar masih suka, ya, enggak apa-apa. Ternyata Naura itu anaknya teman Papa dulu waktu jaman SMA."

Arka mulai tertarik. Sedikit terkejut mengetahui fakta bahwa Pak Prasaja dan ayah Naura satu sekolah.

"Ayahnya namanya Rudi, kan?" tanya Pak Prasaja.

Arka mengangguk. Laki-laki itu memutar posisi padannya menjadi menghadap Pak Prasaja. Tersirat, ia ingin mendengar cerita sang papa lebih jauh.

"Jadi TNI dia sekarang. Dulu, si Rudi itu kalau di sekolah anaknya baik. Papa enggak dekat banget, sih, soalnya beda tongkrongan. Tapi, Papa kenal sama orangnya. Pintar, anak organisasi juga di OSIS, disiplin. Makannya, enggak heran liat Mas Nara kalau di kampus. Anaknya sama persis kaya bapaknya. Ya, bagus, sih. Berarti Naura itu anaknya sama-sama enggak jauh dari orang tuanya."

"Oh..." Arka mengangguk-angguk. Laki-laki itu memikirkan salah satu kalimat yang diucapkan papanya tadi. "Berarti Papa dulu orangnya urakan, dong, ya?" ucapnya ringan tak ada beban membuat Pak Prasaja sedikit terkejut.

"Sok tau kamu."

Arka menyerngit. "Lah terus Arka anaknya siapa? Katanya, anak enggak jauh-jauh dari bapaknya."

Mantan Rasa Pacar [END]Where stories live. Discover now