5. Sebuah Pengakuan

Start from the beginning
                                    

"Berpelukaaan!" seru Vanka sambil menarik bundanya dan bergabung dengan Lova dan ayahnya. "Kangen banget sama Ayah kita, tuh. Kangen aroma kopi buatan Bunda untuk Ayah, kangen senyum Ayah, kangen petuah Ayah. Tapi, enggak kangen sama wajah serem Ayah yang tadi. Kita takut! Hehe ...."

Pak Janu tergelak, semakin memgeratkan pelukannya pada tiga perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya. Beliau tidak pulanya orang tua, hanya keluarga kecil inilah yang menjadi arah pulangnya. "Ayah minta maaf udah bikin kalian takut. Ayah cuma khawatir sama anak ayah yang satu ini." Pak Janu menggoyang-goyangkan tubuh Lova. Lalu beliau melerai pelukan itu saat teringat sesuatu. "Pada mau buka oleh-oleh, enggak?"

"Mauuu!" jawab semua orang dengan penuh semangat. Lalu semuanya bergegas beranjak, memburu koper Pak Janu yang ada di dekat lemari.

Beginilah keluarga Lova, sederhana, tetapi bisa menjadi luar biasa saat bersama. Mengadakan sidang darurat karena dua anak yang terkadang melanggar aturan, lumayan sering terjadi. Pulang telat, mengerjakan tugas mepet deadline, atau karena Lova dan Vanka yang terlibat percekcokan yang berasal dari gurauan. Namun, setelah itu, semuanya akan baik-baik saja. Diakhiri dengan pelukan hangat, lalu berlanjut dengan tawa riang yang membahana ke seluruh sudut rumah.

Hanya saja, kenapa terasa kosong dada Lova? Tidak mungkin dia sedang mengkhawatirkan Arvin, bukan?

"Jadi, ada hubungan apa kamu sama laki-laki itu?"

Pergerakan tangan Lova langsung terhenti saat mendengar pertanyaan ayahnya. Dia menyimpan keinginan untuk membuka bungkusan kue mente. Berpikir keras tentang jawaban seperti apa yang akan dia jawab. Belum sempat Lova menemukan jawaban, Vanka sudah mendahului.

"Pacarnya, Yah," jawab Vanka dengan enteng. Wajahnya santainya tampak menyebalkan di mata Lova, apalagi sambil mengunyah kerupuk udang. "Kalah kakak, nih, Lova udah sold out duluan. Mana dia anaknya kepala sekolah lagi."

Lova langsung melotot, meminta Vanka untuk berhenti bicara hanya sampai di sana. Jangan sampai bagian paling penting-paling rahasia-sampai terungkap ke permukaan. Apalagi di sini ada bundanya, yang sedang tersenyum penuh arti. Lova langsung menggeleng, mengetahui arti tatapan itu. "Enggak, Bun! Bukan pacar, kok!" kilah Lova. Ingin rasanya dia melempar bungkus kue mente di tangannya ke wajah Vanka. Setelah mengatakan itu, Lova terdiam sendiri.

Keadaan akan buruk jika orang tuanya mendengar kabar tak benar itu dari Arvin. Pasti Arvin akan dengan sangat senang hati memberi tahu bahwa mereka berpacaran, mengingat dia begitu antusias minta diperkenalkan kepada ayah Lova. Mereka memang berpacaran, semenjak Lova menerima permohonan Bu Indira, mereka memang resmi berpacaran. Namun, semua itu tidak seperti yang akan orang lain pikirkan. Lova terpaksa, demi kemanusiaan. Dan sebuah kemustahilan besar untuk Lova mengatakan yang sebenarnya, karena itu akan membuat orang tuanya cemas.

"Emm ...." Lova melirik orang tuanya secara bergantian, berakhir pada Vanka yang tersenyum jahil ke arahnya. Jika di sana tidak ada orang tua mereka, sudah pasti Lova akan menyerang Vanka secara membabi buta. "Iya, dia pacar Lova."

"Tuh, kan! Pacarnya, Bun. Tadi aja bilangnya bukan, sekarang ngaku juga." Vanka malah bahagia sendiri melihat wajah kusut adiknya. Dia hanya membantu, karena akan menjadi masalah besar kalau ayah dan bunda mereka tahu hubungan aneh itu dari Arvin, bukan dari putri mereka. "Cuma gitu, Lova belum ada rasa apa-apa sama Arvin. Cowoknya aja yang ngebet banget sama Lova, sampai mau-mau aja pacaran sama orang yang enggak ada perasaan sama dia. Vanka intip-intip, dia kayaknya orang baik, tapi tetep aja kita harus waspada, 'kan?"

Bu Arumi langsung bergerak mendekati putri bungsunya dan merangkul bahu Lova. "Kenapa enggak bilang sama bunda kalau kalian pacaran? Tahu gitu, bunda enggak perlu menebak-nebak, 'kan?"

Erotomania [Tamat]Where stories live. Discover now