Chapter 1: Birthday = Bad Day

36 3 0
                                    

Tuhan menyimpan banyak hal yang tidak terduga.

Mengirimnya satu per satu dengan ritme yang Dia tentukan.

_______________________________________

Seoul, 17:30.

"Malam ini, tidurlah denganku!" Ucap seorang pria bersamaan dengan tetes pertama gerimis di pundak Baram.

Mata gadis itu terbelalak. Mulutnya terkunci rapat. Tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk menanggapi ajakan gila tersebut.

Tepat di depannya berdiri sosok pria asing yang dengan erat memegang lengannya. Pria tinggi itu sudah sepanjang hari ini mengikutinya. Dari mulai dia ditendang keluar oleh pemilik sewa, sampai dia terlunta-lunta di pinggir jalan. Bukan karena dia menyukai Baram, pun buka karena dia seorang penguntit. Tapi karena 10 juta won yang Baram pinjam sekitar 3 minggu yang lalu.

"KAU GILA?" Pekik gadis itu dengan penuh emosi.

Wajah pucatnya kini memerah menahan amarah. Ingin rasanya Baram merobek mulut pria yang sudah lancang mengajaknya tidur tersebut. Tapi yang dia lakukan hanyalah menatap tajam ke arah si pria sambil mengepalkan tangan kuat-kuat.

"10 juta won. 10 juta won. 10 juta won." Gumam Baram dalam hati. Mencoba meredam amarah yang dirasanya sudah hampir tak tertahankan. Jika bukan karena hutang piutang itu mungkin sedari tadi tinjunya sudah mendarat di wajah tampan pria itu.

Sial. Kenapa dia harus tampan? Pikir Baram di samping rasa marahnya.

Kini Baram dan pria debt collector yang entah siapa namanya itu hanya diam mematung di tengah gerimis. Saling menatap satu sama lain. Tangan si pria masih menggenggam erat lengan Baram. Sementara pikiran gadis itu masih sibuk menerka tentang si pria. Sebelum mereka saling melontarkan kalimat, tiba-tiba dering handphone memecah keheningan. Baram bergegas melepaskan lengannya dari genggaman si pria. Dia memeriksa saku mantelnya di mana handphone terdengar berdering dan bergetar di sana.

"Ya?" Jawab gadis itu pada seseorang di sebrang telepon.

"Daejung-ah.. kau baik-baik saja?" Tanya Baram kemudian.

Rupanya tidak ada jawaban dari si penelepon. Membuat gadis itu mulai merasa kesal.

"YAAHHH.. Go Daejung!! apa kau mabuk???" Bentak Baram.

Ada satu kebiasaan buruk Daejung. Adik laki-lakinya tersebut selalu membuat Baram berada pada sambungan telepon tanpa sepatah kata pun di kala pemuda itu mabuk.

"Go Baram.. aku menyukaimu." Ucap Daejung tiba-tiba.

"Ah.. aku tahu. Kau meneleponku di jam ini hanya untuk mengatakan itu?" Tanya Baram dengan nada kesal.

"Tahu? Tidak..tidak.. kau tidak tahu. Aku menyukaimu! Noona, aku menyukaimu! Bukan sebagai seorang adik. Aku menyukaimu sebagai seorang----- seorang pria."

Ada keheningan setelah kalimat panjang itu terlontar. Sebelum Baram berhasil mencerna perkataan adiknya tersebut, telepon terputus begitu saja. Menyisakan dia dengan segala kebingungannya.

"Ah.. Go Daejung! Anak itu beraninya mabuk dan mengatakan omong kosong! Bikin kesal saja!" Gerutu Baram.

Sebenarnya yang tidak sadar adalah dirinya sendiri. Go Baram tidak sadar bahwa beberapa detik kemudian adalah awal baginya memasuki kehidupan percintaan yang rumit. Dia tidak tahu bahwa Tuhan akan memainkan perasaannya di antara pria debt collector yang saat ini berdiri di hadapannya, dan pria di ujung telepon yang sudah hidup selama 22 tahun sebagai adiknya.

GO BARAM GO!Onde histórias criam vida. Descubra agora