Tidak lagi.

"Rose, jangan." Ia memasukkan saisnya kembali ke sabuknya. Jennie melangkah pelan ke arah adiknya. "We can talk it out."

Rose, bersama dengan sebilah pedang yang ia genggam kuat dengan kedua tangannya menatapnya datar. Jennie mengulurkan kedua tangannya untuk merengkuh adiknya, namun masih ada beberapa meter jarak di antara mereka. Ujung pedang yang sebelumnya milik Jin itu kini nyaris menyentuh perutnya.

"Rose—" Jennie menyadari rahang perempuan itu yang mengeras, matanya yang berkaca-kaca, serta tangannya yang bergetar. Mungkin ia lengah. Mungkin ini saatnya Jennie mempercepat langkah dan menyingkirkan pedang itu dari tangannya.

Kecuali, ketika jaraknya mendekat dan ia hendak menyentuh tangan Rose, ia sepersekian detik terlambat.

"Rose!" Terdengar langkah cepat dan suara milik June di belakangnya, yang kini berdiri diam di belakang Jennie yang berlutut, kepala Rose berada di pangkuannya.

"The fuck is on your mind?!" geram Jennie, namun suaranya bergetar, dan ia terdengar seperti berbisik. Nafasnya panjang-pendek. "Rose, hei. Stay with me."

Rose tak menjawabnya. Jennie tahu ia masih bernafas dan mampu mendengarnya, namun bahkan kedua matanya tak ingin menatapnya.

"Ros..." Jennie melirih, tangannya mengelus lembut pipi adiknya. "Gue minta maaf."

Bagaimana dengan Lisa? Bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana bisa Rose meninggalkannya di sini sendirian? Jennie memejamkan matanya, tangannya mengepal erat.

Dua kali.

Dua kali seorang saudarinya kehilangan nyawa tepat di hadapannya, dan ia selalu sekian detik terlambat untuk menyelamatkannya. Kenyataan bahwa ia harus hidup dengan kenyataan itu tiba-tiba bertengger di pundaknya. Ia tak akan melawan apabila Lisa tak ingin bertemu dengannya lagi, apabila semua orang yang mencintai kedua saudarinya mencaci maki dan mengancamnya dengan kematian.

Jennie menghela nafas panjang ketika akhirnya sepasang mata Rose menatapnya. Jennie tak tahu apa yang Rose rasakan—sakit di perutnya, kekecewaan di bola matanya. Tatapannya begitu dingin, tangannya yang memucat tak ada bandingannya. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia berkata.

"I..." Ia terbata. Jennie takut ketidaksabarannya terlihat di wajahnya. "I better be dead before more bodies lie on my feet."

Dengan kalimat itu, Rose menghembuskan nafas terakhirnya. Matanya perlahan kehilangan cahayanya, mengarah ke langit malam dan menatap ketiadaan.

Jennie merengkuhnya erat. Tuhan berkata ia tak cukup merasa kehilangan.

Mau bagaimanapun juga Hoshi mencoba untuk berpikir positif dan mengumpulkan kepercayaan dirinya, keoptimisannya pun memiliki batasan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mau bagaimanapun juga Hoshi mencoba untuk berpikir positif dan mengumpulkan kepercayaan dirinya, keoptimisannya pun memiliki batasan. Setelah terus-terusan berpikir kalau ia akan mengawal Binnie dan kembali bersama teman-temannya dengan selamat, pikirannya kembali ke satu tempat: bagaimana jika tidak?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

marked of sorrow | kpop thg!au.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang