CHAPTER 4

17 2 0
                                    

Derap sepatu mereka merupakan satu-satunya bunyi yang dapat Hanbin dengar. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang bertanya—Hanbin tahu, mereka semua sudah paham ketika Jennie tiba-tiba membangunkan mereka meskipun fajar belum datang hingga mungkin dua jam lagi. Tidak ada yang perlu dipertanyakan ketika ekspresi panik mereka telah menjelaskan semuanya.

Helikopter terbang tepat di atas mereka. Tangan Hanbin mulai mendingin, matanya kesusahan memfokuskan diri pada satu titik. Telinganya berdenging. Ia takut. Hanbin benar-benar takut.

"June, Jennie, kalian muter ke belakang mereka," ucap Hanbin setelah nyala oranye kemerahan mulai terlihat—api unggun yang disiapkan oleh Taeyong dan yang lainnya. "Jangan maju sampai gue maju."

Keduanya mengangguk, mengambil arah yang berlawanan dari Hanbin dan Rose.

Hanbin dan Rose kini memelankan langkah, menghindari dedaunan di sekitar. Udara di arena tiba-tiba terasa lebih dingin, tanah yang tadi siang menyerap panas dari matahari pun kini rasanya membeku. Hanbin dan Rose merunduk, merangkak di antara semak-semak begitu jarak mereka semakin mendekat.

Hanbin menoleh sekejap ketika Rose tiba-tiba mencengkeram pergelangan kakinya. Perempuan itu menunjuk sebuah benda yang tergeletak begitu saja, bersih, tanpa darah—

"Kapak Bobby." Bangsat. Hanbin mengerjapkan matanya. Fokus.

Hanbin bergerak lebih cepat, mempersempit jarak antara mereka dan sebuah tempat terbuka di mana sebuah api unggun berkobar menyala di tengahnya. Semua suara teredam bunyi dengung helikopter yang semakin keras. Hanbin menyaksikan sebuah capit berukuran besar turun darinya, membuka, lantas mayat seseorang yang tergeletak dibawanya.

Hatinya mencelos. Setakut apapun Hanbin untuk melihat siapa yang kini telah berada di angkasa, Hanbin sangat tahu siapa pemilik rambut hitam keriting itu.

Baik Hanbin memaksudkannya atau tidak, setetes air mata baru saja menuruni pipinya.

"Jisoo—"

Hanbin menoleh ke arah Rose, lantas ke arah seseorang di tanah yang ditunjuknya.

Rambut cokelat yang dikucir kuda itu kini beradu dengan tanah, beberapa bagiannya kini basah. Darah?

Nafas Hanbin berpacu. Jisoo bertumpu pada sikunya, beringsut ke arah Hanbin dan Rose tanpa mengetahui keberadaan kedua temannya di sana—namun ia terlalu jauh. Ia dapat melihat bagaimana air mata menetes dari dagunya. Di belakangnya berdiri seorang Taeyong, siap dengan busur dan panahnya yang diarahkan ke punggung perempuan itu.

"Jisoo!"

Hanbin membelalak. Pun Taeyong, yang segera mengalihkan targetnya kepada Rose yang berdiri tanpa persenjataan. Kini, pandangan semua orang berpusat pada pemilik rambut pirang tersebut.

Sebuah panah melayang. Kepala Rose dilewatinya hanya dengan jarak sekian senti, berakhir menancap di sebuah pohon di belakangnya. Hanbin mengernyit. Lee Taeyong seharusnya tidak meleset.

Hanbin berdiri, menatap mayat Taeyong yang tergeletak dengan sebuah tombak di punggungnya. Ketika melihat jauh ke belakang, June telah melompati semak belukar, bersiap untuk pertarungan.

"Anjing—JUNE!" Hanbin kini turun tangan, pedangnya telah berada di genggaman.

Di sisi lain, Jennie telah bersiap dengan kedua saisnya. Tanpa memperdulikan June yang sedang berusaha melewati Mark dan busur panahnya, ia berlari ke arah Jisoo yang tersungkur, helai rambutnya menutupi wajahnya.

"Jisoo!"

Belum sampai kedua tangannya meraih perempuan itu, Jennie merasa badannya tiba-tiba saja kaku. Kakinya menolak untuk berjalan dan bergerak mendekat. Mulutnya menganga dalam kengerian, seiring dengan menyerahnya kedua lututnya ke tanah di bawahnya.

marked of sorrow | kpop thg!au.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora