#8 (Aku Adalah Guntur)

45 4 0
                                    

Guntur berjalan di sekitaran Kampus. Dona melambaikan tangan kepadanya, namun Guntur hanya menampakkan ekspresi dingin, dia berjalan melewati Dona tanpa menyapa balik.

"Mereka lagi marahan?" tanya Lusi kepada Vega yang berjalan di belakang Guntur.

Vega memperhatikan pemuda yang ada di depannya. Rambutnya seperti kejadian di bar itu. Dona membalikkan badan, berjalan cepat mendekati Guntur.

"Lintar, apa kamu ...," Dona tak melanjutkan perkataannya.

"Berhenti menggangguku!" Guntur kembali melangkah, setelah tadi berhenti sejenak.

Dona diam. Vega dan Lusi berjalan melewatinya.

"Kasihan Dona. Mengapa akhir-akhir ini Lintar terkadang menjadi aneh. Sebaiknya kita sekarang harus berhati-hati kepada Lintar."

"Sudah, jangan ikut campur masalah orang lain," ujar Vega mendengar Lusi terlalu banyak bicara.

Sementara itu, di rumah Ayah Lintar yang sudah berpakaian rapi, duduk termenung di kursi.

"Bagaimana dia bisa tahu soal Guntur?" gumam Ayah Lintar dalam hati.

Lintar yang berdiri di belakang ayahnya bisa mendengar suara itu.

"Jangan terus dipikirkan, nanti kamu telat datang ke kantor, mungkin tadi Lintar sedang banyak pikiran," ujar istrinya yang duduk di sampingnya.

Ayah Lintar pun berpamitan.

"Ibu, apa yang harus aku lakukan?" Lintar menatap ibunya.

Setelah suaminya pergi, ibu Lintar tak kuasa menahan air matanya yang dari tadi dia tahan. Lintar tidak tega melihatnya, ia pun ikut meneteskan air mata.


Guntur, Vega, Lusi, Mike, dan mahasiswa yang lain, cukup serius, duduk memerhatikan dosen menerangkan sesuatu di depan kelas.

"Theodore Hesburgh pernah mengatakan: Hal terpenting yang dapat seorang ayah lakukan untuk anaknya adalah mencintai ibu mereka."

Dona tak masuk kelas. Dia berada di toko kue. Pelayan toko itu memperlihatkan kue tart yang dipegangnya kepada Dona. Di tengah kue itu ada hiasan wajah manusia berambut poni, sesuai pesanan Dona. Dona puas dengan hasil kue itu. Dengan kue ini, mungkin bisa membantu suasana hati sahabatnya yang buruk pikir Dona.

"Orangtua adalah faktor pendorong yang paling utama dalam kehidupan setiap anaknya. Seseorang pernah mengatakan, di dalam hidup ini, kebahagiaan terbesar berasal dari kebahagiaan keluarga," ujar sang dosen.

Lusi mengangkat tangan, "Bagaimana, Pak, kalau kita menemukan kasus orangtua yang menelantarkan anaknya sendiri?"

"Mungkin dampak emosi yang terjadi kepada anak tersebut akan merasa cemas, depresi, sulit percaya kepada orang lain. Tugas kita sebagai Psikolog bila menemukan kasus seperti itu adalah, konsultasikan kepada orang tua anak itu untuk mengkaji kembali perkawinannya dan untuk apa mempunyai anak apabila ditelantarkan. Serta mengubah pola pikirnya."

"Bagaimana jika orangtua membunuh anaknya?"

Semua tatapan tertuju pada Guntur.

"Kasus yang berat sekali, karena itu berhubungan dengan nyawa manusia," jawab dosen.

"Apa orangtua seperti itu pantas mati?"

Alis Vega mengernyit mendengar pertanyaan yang dilontarkan pemuda berambut spike itu.

"Hitam dibalas dengan hitam, api dibalas dengan api, nyawa dibalas dengan nyawa. Manusia itu bukan cermin yang hanya memantulkan apa yang ia lihat, tapi manusia itu makhluk hidup, yang bisa mengubah hal buruk menjadi baik, karena kita mempunyai hati nurani."

Dosen menepuk-nepuk pelan dadanya dengan tangan kanan. Suasana kelas hening.

"Ya, sekian untuk hari ini, sampai jumpa di pertemuan berikutnya," sebelum pergi sang dosen tersenyum kepada Guntur.

Sambil membereskan buku-buku, Vega terus memperhatikan Guntur.

"Ayo kita pulang!" ajak Lusi. Mereka berdua meninggalkan kelas setelah dosen keluar lebih dulu.

Guntur keluar dari pintu kelas. Mendadak Dona berdiri di hadapannya.

"Maafkan, aku, ya, jika aku punya salah." Ujar Dona yang menghalangi jalan Guntur sambil memperlihatkan kue tart di tangannya.

Guntur mengambil kue itu dan Dona pun tersenyum. Namun tiba-tiba pemuda berambut spike itu malah menumpahkan kue tart itu di muka Dona, lalu pergi dengan dingin.

Vega yang melihat kejadian itu lekas menghalangi jalan Guntur lalu menampar keras pipinya. Tidak terima, tangan Guntur langsung mencekik leher Vega, mendorongnya hingga menghantam dinding. Lusi menjerit.

"Aku ta ... hu ka ... mu bukan Lintar!"

Mendengar ucapan Vega, tangan Guntur mulai merenggang. Mendadak pukulan datang menyambarnya.

"Jangan pernah kamu menyentuh Vega!" ujar Erik.

Guntur tergeletak di lantai. Ujung bibir kanannya berdarah.

"Jika kedua tanganku tidak terbalut perban, pasti akan aku hajar dia," ujar Mike menatap Dona di depannya masih berdiri mematung.

"Sepertinya kamu harus kembali sekarang!" gertak Erik.

Guntur berdiri, berjalan tenang mendekati Erik.

"Jika kamu bisa, lakukan sekarang!"

Erik tak menjawab, Guntur pun tersenyum sinis. Pemuda berambut gondrong itu mengepalkan tangannya melihat Guntur pergi.

"Kamu tidak apa-apa Vega?" Lusi panik menghampiri Vega.

"Kenapa kamu ada di sini, Rik?" tanya Vega.

"Aku hanya ingin mampir ke sini," Erik berjalan mendekati Vega. "Bagaimana keadaanmu?"

Vega tak menjawab, dia malah melirik ke arah Dona yang tidak bergerak sama sekali setelah Guntur menumpahkan kue di mukanya.

"Dona ...," ujar Mike.

Dona menundukkan kepala lalu menangis.


Sebuah pemandangan indah di ufuk barat. Pancaran jingga di sore hari. Burung-burung terbang bergerombol membentuk formasi mirip huruf 'V'.

Guntur berdiri di depan Restoran 1993. Menilik ke dalam. Masih seperti dulu saat kemari, hanya ada sedikit pengunjung. Sebelum masuk dia menempelkan sesuatu di tembok.

"Mau pesan apa, Mas?" Guntur membalikkan badan. "Kamu? mau minta makan lagi?" ujar Roy.

"Aku datang kemari untuk membantu kalian."

"Kami tidak butuh bantuanmu!"

Mendadak, banyak orang bergerombol datang mengisi tempat duduk. Semua kursi terisi penuh dengan cepat. Roy menatap Guntur dengan penasaran.

"Simpan tasmu di dapur sebelum aku berubah pikiran."

Guntur langsung bergegas ke dapur.

"Hey, ternyata kamu mau datang lagi kemari," sambut Maya dengan ramah.

"Aku kemari untuk membantu kalian. Aku tahu akan ada banyak pengunjung yang datang," ujar Guntur dingin.

Maya melihat ke ruang makan. Roy begitu sibuk ke sana kemari menulis pesanan dari pelanggan.

"Wah, banyak sekali pengunjungnya, padahal tadi sepi."

Roy datang ke dapur dengan napas terengah-engah. Menyerahkan selembar kertas kepada Maya.

"Hari ini kita bakal untung banyak."

Maya tersenyum, lalu bergegas memasak pesanan yang mendadak menumpuk

"Kamu jangan diam saja. Cepat bantu aku menuliskan pesanan dari pengunjung."

Guntur menyimpan tasnya lalu berjalan menuju ruang makan.

"Tunggu, siapa namamu?" tanya Maya.

"Namaku Guntur!" jawab pemuda berpakaian serba hitam itu.

PSIKOLOGIS:  Suara HatiWhere stories live. Discover now