#4 (Peralihan (2))

213 12 0
                                    

Udara cukup segar pagi ini. Laki-laki misterius itu kembali membawa tubuh Lintar. Dia merentangkan tangan, menatap ke atas langit.

Ia berjalan-jalan di daerah kota yang cukup banyak orang hilir-mudik. Perutnya mulai berontak meminta di isi. Dia melirik ke sebelah kiri, di sana ada seorang remaja sedang makan begitu nikmat. Laki-laki misterius itu berjalan mendekat, terpampang di atas pintu masuk, tulisan besar bertuliskan Restoran 1993. Begitu laki-laki misterius itu masuk ke dalam restoran, seorang pelayan yang sedikit beruban menuntunnya untuk duduk di kursi. Lalu menyodorkan pilihan menu.

Laki-laki misterius itu memasang wajah bingung, jarinya menunjuk ke arah remaja yang sedang lahap makan di pinggirnya.

"Oh, mau Triple Bom Ayam. Itu menu favorit kita, mohon untuk menunggu sebentar."

Aroma harum makanan menusuk hidung, ketika pelayan tua itu datang menyajikan makanan. Tidak perlu lama bagi laki-laki misterius itu untuk menyantapnya, sampai si pelayan tua terheran-heran.

Laki-laki misterius itu melirik ke arah pelayan tua yang berdiri di sisinya. "Kamu mau nambah?" tanya Pelayan itu. Laki-laki misterius itu mengangguk, sang pelayan tersenyum.

Setelah kenyang laki-laki misterius itu bergegas pergi menuju pintu keluar setelah menghabiskan lima porsi makanan, dengan cepat si pelayan menghampiri, menagih uang yang harus dibayar.

Pemuda berambut spike itu diam. Pelayan tua menagih lagi, sekarang dengan nada sedikit meninggi. Tapi laki-laki misterius itu tetap saja diam. Tangan pelayan tua itu langsung menarik kerah baju pemuda yang ada di depannya.

"Kalau kamu tidak punya uang seharusnya kamu tidak datang ke sini!" Bentak sang pelayan.

Merasa terhina, laki-laki misterius itu balas menarik kerah kemeja pelayan itu. Pandangan semua orang yang ada di sana tertuju kepada mereka. Seorang koki wanita datang dari arah dapur mencoba memisahkan.

"Ada masalah apa?"

"Dia tidak mau bayar!" ujar pelayan tua itu kesal.

"Kamu tidak punya uang?" tanya koki itu cukup lembut.

"Apa itu uang?"

Semua orang tertawa. Laki-laki misterius itu pun ikut tertawa kecil, dia tidak tahu bahwa yang ditertawakan adalah dirinya sendiri. Emosi pelayan tua yang bernama Roy itu semakin memuncak.

"Roy!" bentakan dari koki itu menghentikan niat Roy untuk memukul pemuda yang ada di depannya.

"Sekarang kamu ikut saja denganku ke dapur," ujar sang koki.

"Maya!"

"Kamu diam saja!"

Si pelayan melepaskan genggaman tangannya dari kerah laki-laki misterius itu. Laki-laki misterius itu tertawa kecil melihat Roy tertunduk.

"Mari ikuti aku."

Koki yang bernama Maya berjalan ke dapur diikuti oleh laki-laki misterius itu.

"Maaf atas ketidak-nyamanannya." Ramah Roy berbicara kepada pelanggan-pelanggan yang menatapnya.

Maya membawa laki-laki misterius itu ke tempat pencucian. Mungkin tenaganya bisa di pakai sebagai imbalan. Maya meminta dengan sopan pada laki-laki misterius itu untuk membersihkan piring yang kotor. Dan ia pun mengangguk setuju.

Masalah beres. Maya berjalan menuju tempat masak yang tidak jauh dari situ.

Laki-laki misterius itu mulai mengambil satu piring. Tidak sengaja karena licin, piring jatuh dan pecah. Maya menghela napas. Perlu kesabaran yang hebat menghadapi pemuda ini. Maya kembali menghampiri. Dia mengambil piring kotor dengan tenang, kemudian menyalakan air di wastafel.

"Pelan-pelan saja, membersihkannya pakai busa ini. Tidak perlu terburu-buru. Setelah bersih letakkan di sini." Maya meletakkan piring bersih itu di sebuah wadah besar yang berada di sisinya. "Kamu mengerti?"

Laki-laki misterius itu mengangguk. Ia kembali mengambil satu piring kotor, kali ini dia bisa mengerjakannya dengan pelan dan hati-hati.

Mahasiswa berhamburan ke luar kelas seperti ayam yang sudah tidak sabar ke luar dari kadangnya. Dona baru saja selesai mengikuti satu mata kuliah. Wanita itu mengambil handphone di dalam tas, tangannya mulai mencari nama kontak dalam layar handphone. Nama Lintar muncul dalam layar, Dona memijit tombol telepon.

Suara piano Fur Elise karya Beethoven terdengar di kamar Lintar.

Lintar yang menjadi arwah hanya diam. Duduk di sudut ruang kamarnya dengan kedua tangan merangkul kaki yang ditekuk.

Suara operator menginformasikan si pengguna sedang sibuk. Dona mencoba menelepon lagi. Handphone Lintar kembali berdering. Kali ini Lintar berjalan menghampiri handphone yang tergeletak di atas kasur. Dalam layar terpampang nama Dona, Lintar dengan cepat ingin mengambil handphone itu, tapi tangannya tidak bisa menjamah. Pemuda berponi itu terus mencoba, tapi hasilnya tetap sama. Lintar menilik kedua tangannya dengan perasaan tidak karuan.

Ibu Lintar membuka pintu kamar anaknya.

"Rupanya dia lupa membawa HP."

Lama menunggu, Dona mematikan telepon.

Suara nada dering berhenti sebelum ibu Lintar akan mengangkat telepon itu. Ibu Lintar berjalan menuju pintu keluar sambil membawa handphone Lintar.

"Sebenarnya Lintar kemana? Enggak biasanya dia bolos kuliah," ujar Dona

Lintar yang menjadi arwah mulai menangis.

"Aku di sini, Bu!"

Tiba-tiba ibu Lintar membalikkan badan lalu melihat sekeliling. Ia seperti mendengar suara Lintar, tapi ia tidak melihat siapa pun di dalam kamar. Mungkin hanya halusinasi saja pikirnya, Ibu Lintar kembali berjalan kemudian menutup pintu kamar.

Lintar berlutut, air matanya jatuh bercucuran.

PSIKOLOGIS:  Suara HatiWhere stories live. Discover now