#9 (Anak yang Hilang)

30 4 0
                                    

Dona hendak pulang. Erik yang duduk di kursi dekat pohon menghampiri Dona, mengajaknya untuk duduk sebentar di kursi.

"Bukankah kamu teman Vega, ada perlu apa menemuiku?" tanya Dona.

"Aku hanya ingin memberitahumu, orang yang tadi melemparkan kue tepat di wajahmu itu. Dia bukanlah orang yang kamu kenal."

"Maksudmu Lintar?"

Erik berdiri, "Sebaiknya mulai sekarang kamu harus berhati-hati dengannya."

Pemuda berambut gondrong itu pergi. Dona mencoba mencerna kata-kata yang disampaikan oleh Erik kepadanya.


Vega memarkirkan mobilnya di depan Restoran 1993. Perempuan itu keluar dari pintu mobil, melihat ke dalam, banyak pelanggan yang datang. Sudah lama sekali Restoran ini tidak seramai sekarang. Di dekat pintu masuk ada pamflet bertuliskan diskon setengah harga menempel di dinding. Vega tersenyum lalu masuk ke dalam.

"Vega, kamu sudah pulang," ucap Roy.

"Ya, Paman. Mama ada di dapur?"

"Iya, lah, pasti dia di dapur."

Vega berjalan menuju dapur.

"Guntur, cepat antarkan makanannya!" teriak Roy.

"Guntur?" gumam Vega.

Guntur keluar dari dapur membawa hidangan makanan di tangannya. Mata Vega terbelalak melihat wajah Guntur yang ada di hadapannya, mereka berdua saling menatap.

"Jangan diam saja, cepat antar ke meja sana," perintah Roy, Guntur pun bergegas.

Vega masih terus memerhatikan Guntur, sebelum kembali berjalan menuju dapur.

"Mama ... aku pulang!" Vega langsung memeluk ibunya yang sedang memasak.

"Tumben kamu pulang cepat!"

"Lagi males main. Vega ke kamar dulu, ya, Ma."

Vega melangkah menuju tangga yang ada di dapur menuju kamarnya di lantai dua.

Ibunya melirik ke tempat masak kosong di sebelah tempat memasaknya. Dulu Vega selalu membantunya sehabis pulang sekolah. Namun saat Restoran sepi pengunjung, Vega mungkin jenuh dan tidak lagi membantu ibunya.

Vega keluar dari kamar. Di lantai dua, perempuan berkulit putih itu memperhatikan Guntur sedang memberikan pesanan makanan kepada pengunjung.

"Maaf, Mas, saya bukan pesan makanan ini." ujar seorang pelanggan kepada Guntur.

"Guntur, bukan meja itu, tapi yang sebelahnya!" teriak Roy.

Guntur mengambil kembali makanan itu, berjalan menuju meja di sebelahnya tanpa meminta maaf. Roy menghela napas sembari menggelengkan kepala. Vega tertawa kecil.

Sesaat Vega memegang lehernya, "Guntur? Lintar? Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Aku rasa, dia bukanlah Lintar yang menyamar menjadi Guntur."

Vega ingat ketika itu Erik berbicara sendiri di dekat pohon, menyebutkan nama Guntur. Vega lekas ke bawah menuruni tangga.

"Perlu bantuan?" tanya Vega yang sudah memakai celemek.

"Vega?" Maya melongo.

"Mana yang harus dipasak sekarang?" Vega mengambil wajan lalu meletakkannya di atas kompor.

"I ... ini pesanannya," penuh rasa bahagia Maya memberikan kertas pesanan.

Vega membacanya dan mulai memasak, sayuran yang sudah dipotong-potong, bumbu-bumbu yang sudah jadi, hanya tinggal diolah, memudahkan Vega untuk memasak. Ia baru sadar sekarang. Jika ibunya pasti capek mengerjakannya sendirian. Vega tidak kuat menahan air matanya yang sudah sebisa mungkin ia tahan.

"Kamu kenapa?"

Vega langsung memeluk Maya dengan penuh kasih. Tak sengaja Guntur yang hendak mengambil pesanan yang telah siap, melihat kejadian itu. Guntur termenung tanpa berkata apa-apa.

"Sudah, jangan menangis ..." Maya mengusap-ngusap rambut anaknya.

"INI HANYA SETENGAH HARGA!!!" Terdengar teriakan Roy begitu keras.

Maya melepaskan pelukan secara perlahan, lalu berjalan cepat ke ruang makan. Vega mengusap air matanya, dia baru menyadari jika dari tadi Guntur tengah memerhatikannya. Guntur pun bergegas pergi ke ruang makan setelah Vega melirik ke arahnya.

"Ada apa, Roy?"

Guntur dan Vega mengikuti Maya dari belakang.

"Ini ... dia hanya membayar setengah harga!"

Seorang pelanggan lagi, meletakkan uang di depan Roy. Roy pun menghitungnya.

"Kenapa semuanya membayar setengah harga?!" pria tua itu murka.

"Di depan ada tulisan diskon setengah harga. Gimana,sih!" kesal pelanggan yang tadi dimarahi Roy berbicara lalu pergi.

Roy berlari ke arah pintu masuk. Vega tersenyum melirik ke arah Guntur. Pelayan tua itu penasaran siapa yang menempelkan pamflet. Roy hendak mencabutnya, tapi Maya mencegahnya.

"Sudah, jangan dicabut, tidak ada salahnya kita sekali-kali memberi sedekah."

"Ya, sudah, jika maumu begitu." Mereka berdua kembali ke dalam.

"Maaf! Silakan lanjutkan lagi menyantap makanannya!" ujar Maya kepada semua pelanggan yang tadi terganggu akan tingkah Roy.

"Ini setengah harga enggak?" tanya seorang pelanggan muda.

"Ya, setengah harga!" jawab Roy. Maya pun tersenyum.

Restoran semakin kebanjiran pengunjung. Roy, Maya, Vega, dan Guntur, begitu sibuk. Tak terasa, dalam hitungan jam, persediaan makanan sudah habis, dan Restoran pun sudah tutup walau hari masih sore.

Roy, Maya, Vega, dan Guntur, duduk di satu meja. Guntur memain-mainkan sebuah uang logam 1000 rupiah dengan jari tangannya, sedangkan Vega menghitung uang hasil penjualan hari ini. Roy begitu konsentrasi melihat hitungan Vega.

"Total penjualan hari ini, tujuh juta lima ratus tiga puluh ribu," ujar Vega.

Roy kaget dengan hasil itu. Walau di patok setengah harga, Restoran tetap mendapatkan keuntungan.

"Aku penasaran siapa yang meletakkan pamflet itu?" ujar Roy.

"Aku yang meletakkannya," jawab Guntur.

"Hah? Jadi kamu?"

"Sewaktu aku dalam perjalanan datang kesini, tak sengaja aku melihat semua orang bergerombol masuk ke dalam toko ketika melihat benda yang dipajang itu. Jadi, aku cabut saja, lalu meletakkannya di depan Restoran ini, dan terbukti semua orang masuk ke dalam, kan?" ujar Guntur dingin.

Roy loncat, dengan gesit langsung menggoyang-goyangkan kepala Guntur dengan lengannya. Vega dan Ibunya tertawa.

Mereka kemudian makan bersama di meja makan yang cukup untuk empat orang.

"Mengapa aku merasa dekat sekali dengan dia," gumam Vega dalam hati.

Roy memerhatikan Vega yang dari tadi terus memandang Guntur, dan belum mencicipi makanan yang ada di depannya.

"Jatuh cinta memang bikin orang tidak selera makan, hanya dengan memandangnya saja, membuat perut jadi kenyang. Ha ... ha ... ha!"

Vega dengan kesal melahap makanannya sambil melihat kepada Roy, Maya pun tersenyum dengan tingkah anaknya.

"Inikah suasana jika mempunyai keluarga?" gumam Guntur dalam hati.

Bintang-gemintang menghiasi pekatnya malam. Jalan raya macet olah sejibun kendaraan. Guntur dan Roy berjalan di pinggir aspal.

"Rumahmu di mana?" Guntur diam. "Jika kamu tidak mau menjawab, aku harus belok ke sini. Bagaimana pun juga, aku harus berterima kasih untuk hari ini, berkat kamu Restoran seolah-olah hidup kembali. Kapan-kapan kamu harus mampir juga ke rumahku."

Untuk pertama kalinya Guntur memperlihatkan senyum tulusnya. Roy menepuk punggung Guntur dengan tangan kanannya, lalu berjalan ke arah yang berbeda, tepatnya berbelok ke kanan. Guntur kembali berjalan sendirian sambil memandang bulan sabit bersinar cerah malam ini.

PSIKOLOGIS:  Suara HatiWhere stories live. Discover now