Bab 1: DAMAI

1.2K 50 0
                                    

Pemuda Berponi

Seorang pemuda memakai kemeja panjang berwarna putih dengan ujung bagian bawah dimasukkan ke dalam celana, tampak begitu rapi. Ditambah dengan rambut poni yang sudah menjadi ciri khasnya, membuat semua orang yang melihatnya berpikir, dia seperti seorang anak kecil saja. Dia tengah menghirup udara pagi yang segar di depan jendela kamarnya yang terbuka. Sambil menutup mata, dia menghela nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan raut muka yang ceria.

"Lintar, ayo kita sarapan dulu!" Terdengar teriakan ibunya dari luar kamar.

"Aku adalah anak satu-satunya dari kedua orangtuaku. Umurku 20 tahun. Aku seorang mahasiswa jurusan Psikologi. Impianku adalah menjadi Dokter Hati, karena aku ingin menyembuhkan luka di hati setiap orang. Ha ... ha ...," gumamnya dalam hati.

Lintar membalikkan tubuhnya, mengambil tas yang berada di atas kasur, lalu berjalan keluar kamar menuju ruang makan untuk sarapan. Di meja sudah duduk ayah dan ibunya, menunggu dirinya untuk sarapan bersama. Lintar duduk di kursi, menyimpan tasnya di bawah lantai. Sembari sarapan mereka berbincang.

"Rumah ini terlihat sepi. Ayah, Ibu, tolong berikan aku seorang adik, agar suasana rumah ini jadi ramai." Rengek Lintar. Ayahnya yang mendengar perkataan itu hanya diam.

"Ayah dan Ibu sudah cukup memilki kamu seorang." Ibunya berkata sambil tersenyum kepada Lintar.

"Bagaimana dengan teman-temanmu di kampus? Apa mereka masih suka jahil?" tanya ayahnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Yam ... yam ... yam ... Ayah enggak usah khawatir, aku bisa jaga diri sendiri, kok." Sambil mengunyah makanan dalam mulutnya Lintar berkata.

"Pelan-pelan makannya!"

"Makanan Ibu memang enak sekali." Dengan terburu-buru Lintar makan, seperti sedang kelaparan. Ibu Lintar kembali tersenyum.

Setelah selesai sarapan, Lintar bersiap di depan rumah untuk berangkat.

"Sudah jangan terus memeluk ibu, nanti kamu telat datang ke kampus." Ibunya menepuk-nepuk punggung Lintar. Lintar melepaskan pelukannya lalu mencium tangan ayahnya. Dia berjalan seperti anak kecil, keluar dari halaman rumah.

"Besok adalah ulang tahun Lintar, kita harus menyiapkan kejutan yang istimewa untuk dia." Mata Ibu Lintar terus menatap ke arah anaknya.

"Aku sengaja mengambil cuti hari ini untuk mempersiapkan keperluan buat besok," jawab ayah Lintar.

"Ayah, Ibu, aku pergi dulu, daaaah ...." Lintar melambaikan tangan di dekat pagar rumah. Kedua orangtua Lintar balas melambaikan tangan.

"Hati-hati di jalan!" teriak ibu Lintar. Pemuda berponi itu menganggukkan kepala, lalu pergi.

Di Halte yang cukup ramai, Lintar duduk, kedua kakinya dia jungkat-jungkitkan untuk menghilangkan rasa jenuh. Saat bus datang, pemuda berponi itu bergegas masuk ke dalam bus bersama penumpang lain lewat pintu depan. Di dalam, dia mencari tempat duduk yang kosong, tapi kursi sudah terisi semua, akhirnya dia terpaksa berdiri dekat Pak Supir.

Di kursi paling belakang, ada seorang pemuda berambut gondrong sedang duduk melihat ke arah Lintar. Wajahnya dingin. Sepanjang jalan, pemuda berambut gondrong itu terus memperhatikan Lintar. Lintar yang mulai menyadari bahwa pemuda berambut gondrong itu terus menatapnya dengan mata yang menyeramkan, mulai merasa ketakutan. Lintar pun mencoba memberikan senyuman kepada pemuda berambut gondrong itu, tapi tetap saja, pemuda itu tidak merespon senyumannya. Dia terus memasang wajah dingin.

"Sebenarnya dia siapa? Kenapa terus menatapku seperti itu?" gumam Lintar.

Bus akhirnya tiba juga di depan kampus. Lintar buru-buru turun, kemudian menghela napas dalam-dalam, merasa nyaman bisa keluar dari bus itu. Lintar menoleh ke kiri, dia terkejut melihat pemuda berambut gondrong itu ikut turun juga lewat pintu belakang. Pemuda berambut gondrong itu kembali menatap Lintar dengan wajah dingin dan mata yang menyeramkan.

"Siapa, sih, dia?" Kenapa terus mengikutiku? Perasaan baru kali ini aku melihat wajahnya di kampus, atau jangan-jangan dia ingin merampokku?"

PSIKOLOGIS:  Suara HatiWhere stories live. Discover now