Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Langkah jenjang Jinyoung menapak cepat di trotoar kota Seoul. Tangannya mengepal erat. Seakan tak tahan dengan keadaan yang ia rasakan setiap hari.
Tempat tujuannya telah di depan mata. Ia mendorong pintu kafe dan masuk dengan percaya diri. Matanya menelusuri setiap sudut ruang. Mencari seseorang yang ia ajak bertemu.
"Jinyoung ... di sini!" Seorang pria berusia 40 tahun melambai memberitahu keberadaannya. Jinyoung langsung menghampiri pria tersebut.
"Maaf terlambat, Prof Im," ucapnya membungkuk beberapa detik memberi salam pada seorang pria bernama lengkap Im Jaebum.
"Ah, tidak masalah ... duduklah," titah Jaebum.
"Appa, besok aku ingin bermain ke sini!" pinta seorang bocah berusia tujuh tahun yang kini duduk di samping Jaebum. Jari kecilnya menunjuk layar ponsel milik sang ayah dengan tatapan memohon.
"Hyunjin-ah," panggil Jaebum dengan suara pelan, "kita ke sana kalau Appa sudah tidak sibuk, ya," bujuknya.
Hyunjin mengangguk patuh. Ia kembali memainkan ponsel tanpa banyak bertanya.
"Maaf ya, harus menemuimu dengan membawa anak," ucap Jaebum merasa tidak enak.
Jinyoung menggeleng cepat. "Tidak Prof, saya tidak mempermasalahkannya," sahut Jinyoung. Mana mungkin Jinyoung berani mengiyakan pernyataan profesor yang menjadikannya ilmuwan.
"Lalu hal apa yang membuat kita bertemu di luar lab?" tanya Jaebum ke inti permasalahan.
"Aku ...," Pandangan Jinyoung tak tentu arah, ada kerisauan yang membuat ia susah berucap.
"Apa ini tentang masalalu dan traumamu?" tebak Jaebum. Jinyoung langsung fokus menatap kedua mata Jaebum dengan anggukan pelan mengikuti.
"Saya merasa semua yang saya lakukan selama ini sia-sia," ceritanya menahan gejolak batin yang membuat matanya mengembun.
"Setengah tahun ... kau baru menjalani terapi setengah tahun, Jinyoung-ah!" peringat Jaebum dengan hati-hati. Selain anak didik, Jinyoung juga pasien baginya. Meskipun psikiater lain yang menangani kasus trauma Jinyoung, tapi, ia ikut memantau perkembangan psikologis Jinyoung.
"Kau terlihat bisa menahan emosimu sekarang!" puji Jaebum dengan bangga.
"Terapi bahkan obat-obatan yang selama ini mengontrol emosi saya tidak akan bisa menghapus kenangan saya bersama Jisoo!" kesal Jinyoung meloloskan butiran air mata tanpa kendali.
Kim Jisoo adalah tunangan yang siap Jinyoung nikahi setelah mereka menjalin hubungan selama enam tahun. Naas, gadis lebih muda satu tahun darinya itu memilih mengakhiri hidup sebelum H-1 acara pernikahan. Hal itu terjadi, karena Jisoo merasa dirinya barang kotor setelah menjadi korban nafsu bejat mantan kekasih yang kini telah mendekam di penjara. Sebagai wanita, ia tidak ingin Jinyoung kecewa.
