Part 1

179 21 7
                                    

10 Tahun kemudian.

Daiki tergopoh-gopoh menuruni anak tangga, menghampiri mamanya yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Mama jadi ke sekolah Dai hari ini?" tanya Daiki penuh harap.
Inoo melirik jam tangannya, "Sepertinya Mama tidak bisa, Sayang. Biar Hikaru nanti yang mewakili."
"Tapi, Mama 'kan sudah janji," protes Daiki.
"Mama sibuk, Sayang. Ada pekerjaan mendesak. Oke, kalau begitu Mama pergi dulu, kalau ada apa-apa telepon Mama," kata Inoo seraya mengusap rambut Daiki lalu melenggang pergi.

Gadis cantik itupun memanyunkan bibirnya karena kesal. Selalu saja begitu, Inoo tidak pernah punya waktu untuknya. waktunya hanya habis untuk bisnis dan bisnis. Jika Daiki protes, mamanya selalu bilang ini juga demi Daiki.

Secara finansial Daiki tidak kekurangan apapun. Semua fasilitas mewah dia punya, mobil pribadi lengkap dengan supir dan pengawal yang siap menemaninya ke manapun ia mau. Bahkan Inoo bisa menyekolahkannya di sekolah elite yang biayanya tidak murah.

Tapi, sebenarnya Daiki tidak butuh itu semua. Ia hanya butuh perhatian mamanya, tempatnya berbagi.
Daiki mendengus kesal, lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil tasnya.

Lebih baik ia cepat-cepat pergi sekolah dan bertemu teman-temannya, setidaknya ia tidak akan kesepian jika berada di sekolah.

***

Kondisi tidak jauh berbeda dengan Daiki pun dialami saudara kembarnya itu di luar negeri.

Ryosuke sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Dari kejauhan ia melihat papanya sedang sibuk bicara ditelepon sambil mondar-mandir di depan pintu.

"Huft, pasti telepon dari Miss Caroline lagi. Aku kesal, kapan sih papa putus dari dia," omel Ryosuke.

Bukan tanpa alasan Ryosuke kesal dengan orang itu. Menurutnya, selain pekerjaan papanya yang segunung itu, pacar papanya itu adalah salah satu perenggut quality time-nya dengan papanya.

Karena kesibukan pekerjaanya, papanya jadi jarang mengantarnya sekolah dan tidak pernah menemaninya bertanding futsal lagi. Saat weekend pun papanya malah sibuk menemani pacarnya jalan-jalan tanpa mengajaknya.

Beruntung, ia mempunyai banyak teman di sekolah, dan mampu bersosialisasi dengan baik, walaupun hampir semua teman sekelasnya berbeda ras dan bahasa denganya. Perlahan, Ryosuke pun mulai terbiasa dengan keadaannya.

***

Beberapa hari berlalu, dan hubungan Ryosuke dan papanya makin memburuk. Yabu mulai jarang pulang dan sama sekali tidak peduli dengan Ryosuke.

"Pa, minggu depan Ryo ada pertandingan futsal, Papa mau menemani?" tanya Ryosuke penuh harap.

Yabu terdiam sejenak, seperti menimbang-nimbang. "Sepertinya Papa tidak bisa, Papa ada urusan lain," jawab Yabu.

"Urusan Papa memang selalu lebih penting, sedangkan Ryo cuma bikin Papa repot," ujar Ryo sarkastik.

"Sudahlah, Ryo, Papa tidak ingin berdebat," kata Yabu singkat lalu pergi begitu saja meninggalkan putranya.

Dalam perjalanan menuju kantor, Yabu masih terus memikirkan kata-kata Ryosuke tadi. Apa ia memang terlalu sibuk, dan tidak punya waktu lagi untuk Ryosuke, pikir Yabu.

Pikiran Yabu teralihkan oleh dering panggilan masuk. Sambil tetap berusaha konsentrasi menyetir, Yabu menjawab telepon itu.

"Baik, Pak. Emailnya akan segera saya kirim setelah sampai di kantor. Saya sedang dalam perjalanan sekarang," kata Yabu, lalu mengakhiri panggilannya.

Baru saja Yabu akan meletakkan ponselnya, tiba-tiba ponsel tersebut lepas dari tangannya dan terlempar ke kolong mobil. Dengan sebelah tangan Yabu meraba-raba mencari ponselnya, sedang satu tangan lagi tetap pada kemudi.

Forbidden Love ✅Where stories live. Discover now