BAB 2: Selamat Tinggal

148 31 32
                                    

Seminggu berlalu tanpa kasih menghiasi hati. Perpisahan dengan Tania memberi lubang yang sulit untuk ditutup kembali. Rangga lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Tempat tidur menjadi singgasana yang nyaman untuknya duduk bersandar. Jika ada kegiatan lain atau sekadar merenung, terkadang ia duduk di kursi dekat meja belajar.

Keluar rumah sudah menjadi hal yang tidak menarik lagi karena tidak bisa bertemu dengan seseorang yang disayang. Rangga pun lebih dapat menikmati makanan saat berada di kamar. Ia merasa tenang dan dapat bersedih tanpa ada yang melihat.

Berulang kali, ia berdebat dengan sang ibu karena terlalu lama berada di ruangannya sendiri. Interaksi dengan orang tuanya tidak berlangsung baik karena dirinya lebih banyak murung. Tidak banyak yang ingin ia lakukan karena merasa telah kehilangan belahan jiwa sehingga tidak ada lagi tujuan yang membuatnya semangat beraktivitas.

Meski sudah menyatakan putus dengan gadis pujaan hati, Rangga tidak bisa melupakan begitu saja kenangan bersama Tania. Ia memiliki alasan untuk mengakhiri hubungan, tetapi tetap tidak bisa menerima perpisahan begitu saja. Dirinya mendapatkan konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan berupa rasa kehilangan dan kesedihan. Ia kadang menangis hingga tidak sadarkan diri.

Sudah tiga tahun Rangga dan Tania menjalin kasih. Kebersamaan mereka tidak dijalani dalam waktu yang sebentar. Kenangan yang terbentuk pun tidak bisa hanya satu jam, satu hari, hingga satu tahun untuk dilupakan begitu saja. Terlebih lagi, ia telah mengetahui hal-hal yang disuka dan tidak disuka pujaan hatinya itu.

Apabila mengingat tangisan Tania saat dirinya pergi begitu saja, ia merasa jika perlakuannya sangat tega dan tidak termaafkan. Pantas dicap sebagai laki-laki pecundang karena meninggalkan perempuan yang disayang tanpa penjelasan. Hingga saat ini, Rangga masih membenci dirinya sendiri. Ia juga sudah menorehkan luka yang begitu dalam kepada Tania.

Rangga mengepal tangan kuat untuk menahan emosi yang bersarang dalam dada.

Luka hati ia juga menorehkan kepada diri sendiri. Luka yang akan sulit dipulihkan kembali dan ia biarkan membekas sampai kapan pun. Karena hal itu, terkadang, ia senang hingga tertawa kemudian menangis.

Rangga mengambil bingkai foto yang terpajang di meja kemudian kembali duduk di tempat tidur. Ia memandangi sosok laki-laki dan perempuan berseragam putih abu-abu. Sang laki-laki menaruh dagu di kepala perempuan sambil merangkul leher. Sang perempuan duduk di kursi dengan tangan yang menyilang sambil memegang jemari laki-laki. Latar dalam foto tersebut di studio yang menunjukkan gambar polos biru dengan boneka berjejer di belakang mereka. Kedua orang dalam foto tersebut tersenyum bahagia. Namun, Rangga yang melihatnya justru merasakan kepahitan.

"Semoga kamu bahagia setelah aku benar-benar hilang dari kehidupanmu. Kamu harus melupakanku. Meski cinta ini tidak akan pernah bisa aku lupakan. Sampai kapan pun, kamu satu-satunya perempuan yang aku cintai. Kamu bisa saja membenciku, bisa jadi sangat benci. Mungkin itu lebih baik daripada kamu terus mencintaiku."

Setelah merasa cukup dengan kenangannya, Rangga memasukkan bingkai foto tersebut ke ransel.

"Rangga," panggil ibu Rangga dari luar kamar.

Rangga menjauhi ransel dengan langkah lambat, berjalan ke pintu, lalu membukanya. "Ada apa, Bu?"

"Tania menelepon, kamu tidak ingin berbicara dengannya?"

Rangga menggeleng. "Bilang saja aku sedang tidur."

"Sudah beberapa hari ini Tania menelepon dan kamu tidak ingin mengangkatnya. Apakah tidak apa-apa? Kasihan Tania, dia kan begitu sayang padamu."

"Aku sudah putus dengannya, Bu. Aku tidak ingin memberi harapan lagi. Ibu tahu kan jika kelak aku tidak akan bisa membahagiakannya."

Ibu Rangga mendadak menjadi muram, sedih. Ia memeluk anaknya sebentar. "Ibu akan memberi tahu Tania kalau kamu sedang tidur. Kamu segera selesaikan berkemas." Dirinya kemudian beranjak ke ruang kelurga, mendekati telepon yang terletak di lemari pendek. Ia meraih gagang telepon lalu menempelkan ke telinga. "Tania kamu masih di situ?"

"Iya," jawab seseorang di seberang pesawat telepon.

"Mohon maaf, ya, Tania. Rangga sedang tidur. Ibu tidak berani membangunkannya."

"Dari kemarin seperti itu. Apakah Rangga sengaja menghindariku? Ada apa, Bu? Ceritakan pada Tania jika Ibu tahu sesuatu."

"Tania, Sayang, apa yang sudah Rangga lakukan itu sudah menjadi keputusannya. Ibu tidak bisa memberitahumu apa alasannya. Jika Rangga mau, dia akan mengatakan sendiri padamu. Ibu sudah janji padanya untuk tidak bercerita pada siapa pun, termasuk padamu. Jadi, Tania, maafkan Ibu, ya."

"Aku butuh penjelasan, Bu. Aku akan datang ke rumah untuk meminta penjelasan secara langsung. Sampaikan pada Rangga, aku akan datang."

"Tania kamu tidak perlu––" Sambungan tiba-tiba terputus, ibu Rangga mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Ia mengembuskan napas pelan.

Ibu Rangga merasa Tania sangat malang. Ia tahu hubungan anaknya dengan Tania begitu lekat. Bahkan, ia juga sudah menyayangi perempuan itu seperti anaknya sendiri. Namun, keputusan Rangga mengakhiri hubungan secara tiba-tiba tentu membuat Tania kecewa. Sementara itu, Tania tidak mengetahui apa pun yang menyebabkan Rangga ingin berpisah.

Ibu Rangga kembali ke kamar sang anak untuk menyampaikan pesan dari Tania. Sebelum berbicara, ia memandangi anaknya yang telah tumbuh dewasa menjadi laki-laki tampan. Ia memiliki harapan sang anak bisa membuka lembaran baru lagi dengan sang pujaan hati. "Rangga, kamu yakin tidak ingin menjelaskan apa pun kepada Tania? Dia ingin datang ke rumah menemuimu."

"Tidak. Tidak perlu, Bu. Biarkan Tania tidak mengetahui apa pun," ucap Rangga sambil memilah-milah barang dari laci meja belajarnya.

"Kamu tidak seharusnya melukainya seperti ini. Kamu dan Tania saling mencintai, biarkan dia tahu semuanya. Ibu yakin dia akan mengerti."

"Cukup, Bu!" gertak Rangga yang tidak bisa lagi menahan emosi. Ia meremas barang yang dipegangnya. "Rangga tahu ini akan menyakitinya. Rangga tahu tidak seharusmya melakukan ini. Tapi Rangga juga melakukan ini untuknya. Rangga ingin dia bebas. Tania masih punya masa depan, dan masa depannya bukan denganku, Bu."

Ibu Rangga terkejut melihat anaknya yang tiba-tiba emosi. Ia segera menghampiri Rangga, memegang bahu, dan meminta anaknya duduk di tempat tidur. Dirinya merasa terluka melihat anaknya menangis karena emosi. Ia memeluk Rangga yang sedikit gemetar. "Maafkan Ibu. Ibu tidak akan memaksamu lagi."

Butuh waktu lama untuk Rangga kembali tenang. Setelah melihat anaknya membaik, ibu Rangga membantu anaknya membereskan kamar. "Apa yang kamu butuhkan sudah kamu siapkan semua?" tanyanya tanpa memandangi wajah sang anak. Batinnya merasa tersiksa jika harus melihat tatapan sendu yang dipancarkan Rangga.

"Sudah semua, Bu. Sudah Rangga masukkan ke koper dan ransel," ucap Rangga masih serak.

"Kamu sudah siap meninggalkan semua ini?"

Rangga mengangguk. "Hari ini sudah datang, aku tidak ingin mundur lagi."

"Ibu akan memasukkan koper ke bagasi mobil. Kamu istirahat saja dulu." Ibu Rangga menarik koper dan membawa tas ransel keluar dari kamar.

Rangga memilih bersandar di tempat tidur, melihat sekeliling kamar yang sudah bersih. Tidak ada lagi foto dirinya dengan Tania yang menjadi hiasan kamar.

Ia memejamkan mata. Ketegangan yang tadi ia alami masih teringat jelas. Belum pernah ia emosi hingga seperti itu. Rasa cinta dan luka yang begitu besar membuatnya hilang kendali. Di saat cinta bertambah dan harus berakhir, itu menjadi perasaan yang rumit, sesak, dan sedih.

Tanpa sepengetahuan Tania, Rangga beserta keluarga berangkat ke bandara. Mereka berencana pergi ke Singapura.

Selamat tinggal Tania. Sayangku. Kamulah yang aku cintai. Aku pergi. Jika aku kembali, aku harus melihatmu sudah bahagia. Isi hati Rangga saat meninggalkan tempat yang pernah ia singgahi.

================================

05 Februari 2020
Dear Tania
Dedew Lan Hua

Dear Tania (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang