(1)Semester Dua: Masa Kuliah Yang Jauh Dari Harapan

823 14 0
                                    

Dengan bersemangat Febi melangkah memasuki semester yang baru, semester dua. Segala permasalahan yang tak terelakkan yang telah merusak kehidupan kuliahnya, ditinggalkannya jauh di belakang. Ia tak ingin terus menerus terpuruk dalam relasi-relasi yang rusak. Febi bekerja part-timer selama liburan dan berharap ia dapat menggunakan uang itu jika suatu saat ia tidak dapat mempertahankan beasiswanya. Fokusnya dalam pekerjaan itu membuatnya melupakan segala hal-hal buruk yang telah terjadi di semester satu. Di hari pertama dalam semester itu, Febi melangkah memasuki lobi. Ia terus berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri menuju loket akademik untuk mengambil KRS nya. Dengan mata bersinar-sinar dan penuh harapan ia melihat kertas yang ada di tangannya tersebut.

Sem. 2
Pendidikan Agama
4 SKS

Sem. 2
Hukum Perdata
4 SKS

Sem. 2
Hukum Pidana
4 SKS

Sem. 2
Hukum Tata Negara
3 SKS

Sem. 2
Hukum dan Hak Asasi Manusia
2 SKS

Sem. 3
Filsafat Ilmu Pengetahuan
4 SKS

Sem. 6
Hukum Kontrak
3 SKS

Total SKS: 24 SKS

Lagi-lagi Febi mengambil mata kuliah selain mata kuliah yang telah diprogramkan untuk semester dua. Secara teknis, studi Febi jauh lebih berat daripada teman-teman seangkatannya, tapi justru hal inilah yang membuatnya bersemangat. Membuat strategi studi agar bisa lulus tanpa menyia-nyiakan waktu. Itu yang ada dalam pikiran Febi.

Hari pertama kuliah berlalu dengan begitu tenang. Tidak ada hal-hal yang membuatnya kecewa ataupun kesal. Satu-satunya orang yang bersinggungan dengannya hari itu adalah Jennifer. Jennifer adalah seorang teman yang baik dan selalu ceria. Ia juga selalu membantu mengambilkan buku-buku di rak perpus yang tinggi untuk Febi karena tubuh Febi yang kecil membuatnya selalu kesulitan meraih barang-barang yang diletakkan di tempat yang tinggi. Ini awal yang baik, seperti inilah hari-hari kuliah yang ia harapkan. Febi punya firasat baik untuk semester ini. Tapi dalam perjalanan pulang ke kost, lagi-lagi seperti ada yang mengikutinya. Febi mencoba menoleh ke belakang seperti yang biasa ia lakukan untuk memastikan. Tapi tidak ada siapapun di belakangnya.

Krrk.
Suara itu lagi. Seperti suara suatu alat, tapi suara itu sangat tipis. Hari masih terang, Febi mempercepat langkahnya sampai di kost.
"Sudah beberapa lama berasa ada yang ngikutin" pikirnya.
Sambil terengah-engah, gadis itu cepat-cepat mengunci pintu kamarnya dari dalam.
"Apa ini cuma kekuatiran yang tidak pada tempatnya?"

...

Keesokan harinya, dengan penuh harapan Febi berjalan mendekati kelas Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kelas ini adalah kelas besar, peserta kuliah yang terdaftar juga ada dari fakultas-fakultas yang lain. Dan benar! Febi terperangah melihat kelas yang besar dan pesertanya pun sebagian besar tidak pernah ia temui sebelumnya dalam gedung FH. Ia merasa agak canggung ada diantara banyak orang. Karakter Febi yang introvert membuat ia selalu merasa tidak nyaman berada diantara banyak orang. Dari balik pintu, matanya memandang sekeliling ruangan.
"Sepertinya tidak ada bangku kosong," pikirnya.
Ia terus memanjangkan lehernya ke atas sambil melemparkan pandangannya untuk melihat lebih jauh ke belakang.
"Aduh gimana ini? Duduk dimana..." ujarnya dalam hati mulai panik.
Tiba-tiba...
"FEBI!"
Ada yang memanggilnya. Sepertinya dia tau suara siapa itu.

"FEBI! SAYANGKU!"
Febi melihat jauh. Dilihatnya sebuah tangan melambai-lambai.
"Oh, no!" "Itu Robi"
Febi berusaha mengacuhkan panggilan itu, tapi...
"SAYANGKU! Disini ada kursi kosong!" Teriak Robi dari jauh membuat orang-orang yang duduk di kelas itu menoleh padanya.
"Ini memalukan...tapi..." "tidak ada tempat yang kosong lagi"
Febi melihat lagi ke arah Robi. Dan, apa yang dilihatnya di belakang Robi? Suatu tatapan dingin terlempar lurus tepat ke arah Febi.
"Kak Ian!" ujarnya dalam hati. Dan bangku di sebelah Ian juga kosong, hanya saja Ian seperti tidak menginginkan Febi duduk di sebelahnya. Febi semakin panik, "gimana ini? Definitely gak bakal duduk disana."
Sekali lagi mata Febi dengan cepat berusaha mencari tempat kosong. Tap...tap...tap...
Suara langkah kaki semakin mendekat dari arah punggung Febi yang membelakangi papan tulis. Sambil berdoa, pandangan Febi terus menyisir sekeliling kelas.
"Tuhan tolong, aku tidak mau duduk dekat dua orang itu."
Pandangan matanya sekali lagi menyisir ruangan kelas, melewati Robi yang tidak menyerah bahkan sedikit memaksa untuk duduk di sebelahnya dan Ian yang bahkan sekarang memiringkan mulutnya tersenyum sinis dan buang muka.
"Silahkan semuanya duduk."
Suara dosen kelas itu membuat Febi tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Lalu Febi berjalan mendekati Robi dan Ian. Robi terlihat begitu senang. Ia tersenyum lebar menatap Febi yang terus berjalan semakin mendekat. Tangan Robi menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya tanda menyuruh Febi duduk di situ, sambil menatap Febi yang masih berdiri ragu apakah harus duduk di sebelah Robi atau tidak. Gadis itu merasa risih dengan sikap Robi, tapi kursi kosong satunya lagi adalah di sebelah seorang psikopat yang selalu menatapnya dengan tatapan dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
Perasaan ini...
Sepertinya Febi mengenali perasaan ini.
Suatu ketakutan...suatu kekuatiran seperti kekuatiran yang tidak pada tempatnya... Perasaan aneh itu membuat Febi langsung duduk di sebelah Robi. Ini namanya nightmare! Selama kelas, Robi terus menatap Febi dengan tersenyum, membuat Febi tidak berani menoleh ke samping. Febi terus melihat ke depan, ke arah dosen pengajar, walaupun saat itu ia tidak bisa begitu berkonsentrasi karena ulah Robi. Otot-ototnya tegang dan merasa tidak nyaman. Gadis itu bahkan tidak berani bergerak.
"...Itulah yang disebut pengetahuan primer, sedangkan pengetahuan yang telah..."
Dosen itu terus berbicara. Semua peserta terlihat sibuk mencatat slide powerpoint yang sedang terpampang di depan kelas dan tiba-tiba, ...
PRAAAAK!
Robi sedikit terpental ke depan karena kursinya terdorong keras dari belakang. Seisi ruangan langsung menoleh ke sumber suara dan Febi langsung menoleh ke belakang Robi. Sepertinya badan Robi terpental ke depan sehingga membuat suara yang sangat keras. Dan yang duduk di belakang Robi adalah...
Wajah Ian terlihat begitu menakutkan menatap Robi. Pria dengan hawa dingin itu sama sekali tidak bergeming melihat Robi yang segera berdiri dan melabraknya.

Pengakuan PsikopatWhere stories live. Discover now