3. Alvaro - Pasar Malam

Start from the beginning
                                    

“Gue seneng lo udah bisa senyum lagi pas bareng Revi”

Aku masih saja mematung. Lidahku kelu. Bahkan, aku tak tau akan menjawab ucapan Daniel bagaimana. Jujur, selama di Jepang aku tak pernah sama sekali mengingat tentang Naira. Mengapa saat berada di Indonesia ingatanku soal Naira kembali? Seolah aku membuka plester luka yang belum kering, menimbulkan rasa sakit itu muncul kembali.

Seseorang menggandeng lenganku. Membuatku tersadar dari lamunanku. Melihat ke sisi kiriku dan mendapati Revita sedang tersenyum tulus kepadaku. Aku mengerti arti senyuman dan tatapannya itu. Dia sedang mencoba menenangkanku.

“Anak-anak rencana mau ke pasar malem. Kamu mau ikut?” tanyanya

“Kamunya mau ikutan nggak?” tanyaku sambil tersenyum

“Supirnya kan kamu. Well, aku sih ngikut pak supir aja” jawabnya seranya mengedikkan bahu

“Sial! Aku bukan supirmu” jawabku sambil mengacak rambutnya

“Alvaaaaa, ish! Susah tau natanyaa” rajuknya

“Well, lets do something fun” jawabku sambil merangkulnya

“Tapi—“ dia menatapku ragu “Ada Naira sama—Jovan”

“Terus? Kita ke pasar malem buat seneng-seneng kan?” jawabku berusaha menghilangkan rasa keterkejutanku

“Nggak usah sok kuat!” ujarnya seraya menyikut perutku

“Nggak usah sok tau” jawabku seraya membawanya untuk berkumpul kembali bersama anak-anak.

Well, aku harus kuat. Setidaknya di depan Revita. Bagaimanapun aku tak ingin dia ikutan sedih melihatku sedih juga. Bukan apa-apa, saat di Jepang aku pernah terkena demam, dan dia selalu menyalahkan dirinya karena tak memperhatikanku lebih, membuatku harus membuatnya percaya bahwa sakitku saat itu adalah murni kesalahanku yang berhujan-hujanan padahal aku membawa payung di dalam tasku. Hingga akhirnya, Revita membolos kuliah hanya untuk merawatku.

Revita merangkulkan lengannya ke lenganku. Saat mendekati teman-teman kami, rangkulannya semakin kuat. Membuatku sadar bahwa dia masih diliputi rasa takut. Jika Revita takut, maka aku harus menekan rasa takutku lebih dalam lagi, aku tak ingin dia semakin ketakutan. Aku ingin Revita menjadi cewek yang kuat tanpa harus berpura-pura kuat.

“Mentang-mentang pasangan baru, kemana-mana nempel muluuukk” ejek salah satu teman Revita. Seingatku bernama Valeria

“Lo iri? Mau gue kenalin ke temen gue?” jawabku santai

“Nggak deh, makasih. Ntar sifatnya sebelas dua belas lagi sama lo. Cuek gitu, ogah ah”

Aku dan Revita saling pandang dan detik berikutnya tertawa. Bagaimana tidak? Membayangkan Luke bersikap cuek itu benar-benar lucu. Bahkan, dia nggak bisa sedetik saja diam tidak berbicara. Luke tipe orang yang easy going dan mudah beradaptasi, tak kaget jika dia lebih banyak memiliki teman di kampus. Tidak seperti aku dan Revita.

“Mentang-mentang masih anget yaaa, gue sampe ditinggalin sendirian” ujar Daniel

Astaga. Bagaimana mungkin aku lupa jika aku tadi sedang bersama Daniel? Menggaruk tengkukku yang tak gatal sama sekali. Jujur, aku benar-benar lupa jika tadi bersama Daniel. Lagian, kenapa coba si Revita nggak ngasih tau?

“Ampun, bro. Gue lupa tadi kalo ada lo” jawabku

“Siapa sih yang bakalan inget temen kalo udah ada pacar baru? Ye gak, guys?” seru Billy yang diamini oleh beberapa anak saja. Karena, aku melihat Jovan memandang tak suka ke arahku.

“Kata Vita kita mau ke pasar malem?” tanyaku

“Oooohhh, jadi panggilannya Vita, Var? Vita-Varo. Cocok kok, ya gak?” goda Valeria

The Same FeelingsWhere stories live. Discover now