Saat Kebenaran Terungkap

21.5K 2.5K 76
                                    

Bunyi bel yang berulang-ulang membuat Anthony terpaksa membuka matanya. Sakit di kepalanya makin menjadi, pandangannya berkunang-kunang, dan kerongkongannya terasa kering. Susah payah dia bangkit dan dengan brutal memaki siapa pun itu yang dengan tidak sopannya memainkan bel. Namun, saat membuka pintu dan bersiap memaki, Anthony tertegun.

Di depan pintu, berdiri Aiden dengan Yemima dalam gendongannya. Gadis mungil duplikat Anthony itu dengan bersemangat menekan bel berulang-ulang.

***********************************
"Seharusnya kamu tidak janji untuk mengantarnya kemarin. Karena kamu ingkar, kami semua kesulitan membawanya ke sekolah. Terpaksa saya minta izin pada pihak sekolah agar Yemima bisa membolos kali ini," kata Aiden membuat Anthony merasa seperti seorang murid TK yang sedang ditegur oleh gurunya.

"Maaf," katanya sambil meletakkan minuman kaleng di atas meja untuk Aiden.

"Dimaafkan, mengingat kamu belum terbiasa menjadi ayah." Aiden mengambil minuman kaleng dan membukanya. "Tapi kamu harus minta maaf ke Yemima."

Anthony melihat ke arah Yemima dengan tatapan melembut. Hatinya langsung merasa hangat. Perlahan dia berdiri lalu mendekati Yemima yang sejak tadi berkeliling dalam apartemennya. Putrinya itu menoleh dan menatap Anthony dengan cara yang lucu ketika dia berjongkok di depannya dan tersenyum.

"Mima ... tadi Mima nunggu Papa, ya?"

Yemima mengangguk. Kucirnya yang tipis bergoyang-goyang. "Iyah," jawabnya. Lalu mulutnya mengerucut lucu. "Papah ga dateng."

Rasa bersalah menyesakkan dada Anthony. "Maaf, ya. Tadi Papa sakit kepala, jadi enggak bisa bangun," katanya.

Yemima menyentuh kepala Anthony dengan tangan mungilnya. "Sakit? Pucing yah?"

Anthony mengangguk sambil tersenyum. "Maaf, ya," ucapnya lagi.

Yemima mengangguk lagi. "Pi jan boong lagi, yah?"

Anthony mengangguk sambil tersenyum lebar. "Oke. Papa janji."

Yemima memeluk Anthony, tetapi langsung melepaskannya sambil mengernyit. "Papah bau asyem, ih! Belum mandi, yah?"

Anthony tertawa. "Belum, kan Papa lagi sakit kepala."

"Sebaiknya mandi dulu," saran Aiden. "Kalau tidak dia akan terus mengomel."

Anthony mengerjap. "Ya sudah, Papa mandi dulu, ya." Dia bangkit, tapi saat itu pandangannya seperti berputar, membuatnya jatuh berlutut kembali.

"Papah napa?" tanya Yemima. Saat itu Anthony mendengar langkah Aiden yang menghampirinya. Adik Anita itu memegang bahunya.

"Lo kenapa?" tanyanya dengan cara bicara yang sudah tidak seformal sebelumnya.

Anthony memejamkan matanya. "Kepala gua pusing, Broh," jawabnya, mengikuti gaya Aiden.

Aiden menarik tubuhnya berdiri, kemudian memapahnya ke sofa. Yemima membantu dengan memegangi jemari ayahnya. Membuat hati Anthony langsung dipenuhi kehangatan karena tindakan kasih putrinya.

"Kayaknya lo harus ke dokter deh, Bro," kata Aiden. "Yemima bakalan ngambek lagi besok kalo lo enggak nganter dia."

Anthony mengernyit menahan sakit di kepalanya. "Enggak bisa hari ini, Bro. Gua harus nemenin abang gua ke pertemuan sama nyokap. Dia mau nikah dan enggak mungkin gua enggak dateng."

Aiden mengangguk-angguk. "Oh ... ya sudah. Nanti gua coba kasih pengertian ke Mima."

Anthony menatapnya penuh terima kasih. "Thanks, Bro."

"Enggak masalah, kali. Seumur hidup Yemima gua udah ngebujukin dia untuk semua hal, bujukkin sekali lagi bukan perkara besar. Apalagi dia lihat sendiri kalo emang lo enggak enak badan."

My Hand In YoursWhere stories live. Discover now