Batang Versus Lubang

36K 3.7K 159
                                    

"Sini ... berikan Yemima ke Bulik." Bulik Din menerima Yemima dalam gendongannya. "Ah ... Anak manis ... pinter kamu, Nduk. Enggak cengeng sama sekali," katanya dengan lembut sambil menghirup wangi kepala bayi itu.

Anita merasakan air matanya merembes dan dia menciumi putrinya beberapa saat. Terdengar bunyi peluit kereta, dengan berat hati dia kembali menatap Bulik Din sebelum memeluknya. "Bulik, Nita pamit, ya... tolong jaga Yemima," pintanya dengan suara tercekat.

Berat rasanya harus berpisah dengan putrinya yang sedang lucu-lucunya itu, tapi harus bagaimana lagi ... dia harus bekerja, bukan?

Bulik Din mengelus punggungnya dengan lembut. "Ya. Jangan kuatir. Yemima akan baik-baik saja.."

Anita berusaha menahan air matanya, dan saat itu bunyi panggilan kembali terdengar untuk para penumpang kereta menuju ke Jakarta. Setelah berpelukan untuk yang terakhir kali, Anita pun berbalik dan berjalan bergandengan dengan Aiden menuju ke kereta yang sudah menunggu.

Dia harus kuat. Demi Yemima, dan demi masa depan mereka....

************

"Kamu baik-baik saja?" Anthony bertanya penuh perhatian saat melihat Anita yang tampak termangu di depan layar monitornya.

Gadis itu mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Anthony. "Selamat siang, Pak Thony. Saya baik-baik saja, terima kasih sudah begitu perhatian, dan terima kasih untuk bahu yang sudah dipinjamkan," jawabnya lembut.

Sebetulnya dia merasa rikuh setelah kejadian kemarin sore, saat Anthony ternyata mengikutinya dan memergokinya sedang menangis di mobil usai pertemuannya dengan Samudra. Namun, dengan pengendalian diri yang tinggi, dia mampu menutupi rasa canggungnya.

Satu hal yang jadi pertanyaannya, bagaimana Anthony bisa ada di tempat itu saat dia benar-benar membutuhkannya?

Anthony duduk di depannya. "Sama-sama, Anita. Aku mau kamu tahu, tanganku akan selalu terbuka kapan pun kamu butuh, dan kamu bisa pinjam bahuku setiap saat."

Anita tersenyum penuh terima kasih mendengar ketulusannya itu.

Saat itu Anthony kembali menyambung. "Kamu tahu? Tadinya aku pikir kamu tidak akan bisa datang dan bersikap setenang tadi dalam rapat, karena ada pria itu lagi di situ. Kalau saja aku tidak melihatmu kemarin dalam keadaan seperti itu, aku pasti mengira kamu tidak punya masalah. Kamu adalah wanita yang menangani masalah kamu dengan sangat anggun, Anita. Dan aku salut," pujinya tulus.

Anita menghela napas. "Well ... setiap orang bertambah dewasa, bukan begitu?"

Anthony melemparkan tatapannya ke arah lain. "Benar. Tapi tidak semua orang berani mengambil keputusan untuk menjadi dewasa. Meskipun semua orang pasti bertambah tua."

Anita hanya tersenyum mendengar itu. Dia yakin Anthony bicara tentang dirinya sendiri. Saat itulah ponsel pria itu berbunyi, dan dengan malas Anthony meraihnya dari saku. Dia mengerang saat melihat nomor siapa yang tertera di situ.

"Halo? Ya, Mi?" sapanya dengan nada terpaksa. Beberapa saat Anthony mendengarkan. Lalu wajahnya terlihat berubah masam. "Sore ini? Oke."

Anthony menghela napas. Dia mematikan ponselnya, lalu menatap Anita sambil tersenyum getir.

"Mamiku," ujarnya. "Lagi-lagi dia mengatur perjodohan lain. Kamu tahu? Entah kapan dia akan berhenti melakukan hal sia-sia seperti ini."

Sambil berkata begitu dia bangkit, dan menatap Anita yang duduk dengan anggun di kursinya. "Aku pergi dulu, Anita. Untuk menemui calon istriku. Hehehe...."

Ada nada sinis di suara Anthony yang membuat Anita mengerutkan kening. Kalau pria itu tidak senang dengan apa yang dilakukan Ibunya, kenapa dia harus pergi? Penuh tanya, Anita hanya bisa memperhatikan punggung kokoh yang melangkah keluar dari ruangannya, dan tiba-tiba sesuatu terpikir olehnya.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang