Bicara tentang Yemima

34.2K 3.9K 158
                                    

Aiden sedang termangu saat Anita melihatnya sepulang kantor dalam keadaan lelah. Sang adik yang tampan memangku Yemima yang asyik mengeja huruf-huruf dalam buku bergambar yang dipeganginya. Anita mengerutkan kening, lalu melihat ke jam dinding. Pukul sepuluh malam, harusnya Yemima sudah tidur.

"Lagi mikirin apa, Aid?" Anita menyapa. Dia mencopot sepatunya dan menaruhnya di rak dekat pintu, meletakkan tasnya di kursi, lalu menghampiri Aiden dan Yemima.

Aiden mendongak dan melihat kakaknya yang tampak lelah. "Eh ... baru pulang, Mbak?"

Anita mengangguk. Dia menatap Yemima. "Mima ... jam berapa sekarang? Kok belum bobo?" tegurnya.

Yemima menyengir sambil menggoyangkan kuncirnya. "Daddy Eden sedih, Mah. Mima bacain celita jadiii ... Daddy Eden dak sedih lagii," sahutnya dengan mimik lucu.

Anita tersenyum. "Gitu? Oh ... terima kasih Yemima Smith, karena sudah menghibur Daddy Eden. Sekarang Tuan Putri Cantik bobo dulu, ya? Kan besok masih sekolah? Tuh lihat, jarum pendek di angka sepuluh, jarum panjang di angka dua belas, sudah jam sepuluh. Mima kan harusnya bobo kalau jarum pendek dekat angka delapan, dan jarum panjang di angka enam. Ingat?" Dia meraih Yemima dalam gendongannya.

Yemima menggoyangkan kepalanya yang mungil. "Mima ingat, Mamah. Tapiii ... kalo Mima bobo, Daddy Eden sedih." Wajahnya terlihat serius.

"Kan ada Mamah ... nanti Mamah yang hibur Daddy Eden. Oke?"

Yemima menguap. "Oh ... gitu yah? Uhm ... Mima bobo, deh, yah?" ujarnya sambil menutupi kuapnya dengan tangannya yang mungil. Mata hijaunya mengerjap-ngerjap berat, jelas terlihat kalau sebetulnya dia memang mengantuk.

"Putri pintar! Sekarang ... kita cuci kaki sama tangan dulu, ya? Teruuus ... langsung bobo, deh."

"Iya, Mamah. Mima boleh mbil' nyanyi, yah?"

"Boleh, dong."

Riang Yemima menepuk tangan. Dia menoleh pada Aiden, dan berkata manis, "Daddy Eden, Mima bobo, yah?"

Aiden tersenyum lembut dan mengangguk. "Oke, Cantik," jawabnya.

Yemima balas tersenyum ceria, lalu sambil mengayunkan kakinya, dia mulai menyanyi."Tis is te wey wi wosh awel hends ... wosh awel hends ... wosh awel hends...."

Anita tersenyum. Cekatan, ibu muda itu membawa putrinya yang sudah mengantuk, menyiapkannya untuk tidur. Sepuluh menit kemudian, dia kembali menemui adiknya. Lembut ditepuknya bahu Aiden sebelum duduk di sebelahnya.

"Ada apa?" tanyanya langsung.

Aiden menghela napas, lalu menoleh dan menatap Anita. "Mbak tahu, kenapa Ajeng nekad pulang kampung?" Dia balik bertanya.

Anita berkedip. "Tahu. Tapi Ajeng berharap Mbak enggak usah bicara soal itu. Kenapa?"

Aiden tersenyum letih. "Enggak pa-pa. Cuma ... Aiden kok merasa kalau itu ada hubungannya dengan Aiden," katanya. "Rasanya ... enggak nyaman."

Anita terdiam. Beberapa saat sepi, sampai dia meraih jemari Aiden dan meremasnya lembut. "Kita tunggu aja, ya. Nanti juga Ajeng balik. Mungkin dia cuma butuh waktu menyesuaikan diri. Bukan hal mudah tinggal di sini, sementara kita berdua terlalu sibuk untuk menemaninya atau sekadar mengajak ngobrol."

Aiden mengangguk-angguk. "Mungkin."

"Nanti Mbak telepon Bulik Din supaya bujukin Ajeng. Kita hutang budi sama mereka dan setidaknya kita bisa balas sedikit dengan menguliahkan Ajeng dan membantunya mendapatkan pekerjaan."

Aiden menggosok hidungnya. "Ya. Tolong telepon Bulik Din, Mbak. Aiden mau istirahat, ya? Capek."

"Omong-omong, semalam Aiden kemana?" tanya Anita.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang