Urusan Yang Tertunda

29K 3.6K 111
                                    

Samudra sedang melihat ke arlojinya saat Anita datang bersama Anthony. Wajahnya yang selalu tenang berubah saat melihat Anthony yang menggandeng Anita dengan cara yang terlalu posesif.

"Anita, Pak Anthony," sapanya sambil berdiri untuk menyambut keduanya.

Anita mengangguk. "Pak Samudra," balasnya menyapa.

Samudra menatap Anthony yang tampak tenang. "Saya pikir Pak Anthony selalu sibuk, ternyata tetap bisa menemani Anita, ya?" sindirnya.

Anthony tersenyum kocak. "Apa pun yang diinginkan Anita harus saya turuti, Pak samudra. Apalagi cuma untuk menemani. Bukan begitu, Nita?"

Anita langsung berdebar. Dengan konyolnya dia berandai-andai jika Anthony serius dengan ucapannya. Canggung dia balas tersenyum. "Iya, Pak. Uhm ... sekarang oleh saya bicara dengan Pak Samudra dulu?"

Anthony mengedarkan pandangannya. "Tentu. Aku ke game center di depan situ, ya? Kebetulan, sudah lama tidak main game," jawabnya. " Call me when you're done."

Anita mengangguk. "Oke."

Anthony pun menepuk pipinya lalu mengangguk sopan pada Samudra. "Permisi, Pak Samudra."

"Silakan."

Dengan gaya santai Anthony pun beranjak meninggalkan Anita dan Samudra. Saat sosoknya yang jangkung sudah tak terlihat, Anita menatap Samudra dalam.

"Bukankah aku pernah bilang kalau Mas Samudra tidak boleh menemui aku lagi tanpa Mbak Dewi? Apa sebetulnya yang mau dibicarakan?" tanyanya.

Samudra tersenyum dan menarikkan sebuah kursi. "Duduklah dulu," jawabnya.

Anita mengucapkan terima kasih, lalu duduk. Samudra ikut duduk, sementara matanya tak lepas dari sosok gadis di depannya.

"Kamu bahagia?" mulainya.

Anita menatapnya dengan tenang. "Ya."

Samudra mengangguk-angguk. "Pak Anthony memperlakukanmu dengan baik?"

Anita mengangguk. Pantas Anthony sering bersikap mesra kepadanya di depan Samudra, ternyata agar Samudra mengira ada sesuatu antara dia dan pria itu.

Samudra menghela napas. "Aku dan Dewi sudah bercerai, tahun lalu. Mungkin kamu sudah dengar."

Anita mengerutkan kening, lalu menggeleng. "Aku belum mendengar," akunya. "Tapi ... kurasa itu bukan urusanku lagi."

Samudra menatapnya. Lalu tertawa kecil. "Dua tahun perusahaan tempat kita bekerja sama, dan tadinya kupikir bisa mulai mencoba merebut hatimu lagi setelah pernikahanku berakhir. Tapi ... sepertinya sudah terlambat, bukan?" ujarnya dengan nada pahit. "Kelihatannya kamu sangat mencintai Pak Anthony, begitu juga sebaliknya."

Anita hanya menatapnya tanpa menjawab. Samudra melambai memanggil pelayan dan meminta buku menu, tapi Anita mencegahnya.

"Mas Sam, aku sudah makan. Kalau tidak keberatan, bisa segera katakan maksud Mas?" pintanya.

Samudra membesarkan matanya, lalu memesan untuk dirinya sendiri. Saat pelayan pergi dia menatap Anita.

"Temani aku makan, Nita. Untuk masa lalu, kalau memang tidak ada masa depan untuk kita," pintanya.

Anita mengerjap lambat. Ada rasa iba di hatinya. Samudra yang dikenalnya bukanlah pria lemah, dan dari caranya menyerah pasrah seperti ini membuat Anita mau tak mau terpengaruh juga dan menyadari kalau ternyata cinta Samudra padanya memang sebesar yang dia katakan. Meski pria itu sudah bebas dan tidak lagi terikat pada perkawinan, tapi di hati Anita sudah ada Anthony.

My Hand In YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang