Den Arya membawaku kembali ke villa. Entah apa alasannya. Padahal, jadwal bulan madu sudah lewat satu hari dari ketetapan. Aku pun tak terlalu ambil pusing. Sebagai istri tugasku hanya mengikuti apa yang ditetapkannya.
Dengan perawatan telaten dari bi Acih, ragaku benar-benar pulih. Wanita berkebaya itu tak pernah lengah menyodorkan makanan dan obat-obatan. Bahkan, kurasa berlebihan. Masa iya harus melahap makanan melebihi porsi sehari-hari.
Suamiku kembali seperti semula. Tak banyak bicara. Meski tak sekaku sebelumnya. Dia masih menanyakan perihal kesehatanku. Itu saja tak lebih. Kelembutan di rumah sakit itu tak ada lagi. Situasi ini menyadarkanku bahwa tak boleh memanjakan hati.
Kamar tidur kami tetap berpisah. Ia amat betah di ruangan yang pintunya selalu tertutup. Sebagian besar waktunya dihabiskan di sana. Kami hanya bertemu di jadwal makan saja.
Tak pernah juga dia masuk ke ruang pribadiku. Terkadang tanya itu datang lagi. Untuk apa di sini? Apa menungguku pulih supaya tak ada interogasi dari juragan istri?
Setidaknya di rumah sana ada ibu. Aku bisa puas bercerita atau hanya menangis di pelukannya. Wanita hebatku itu akan selalu menguatkan kerapuhan putrinya ini.
Kala bosan melanda, aku akan mengitari villa. Seluruh sudut tempat ini telah terekam di otak. Yang paling kusukai adalah gazebo belakang karena menghadap perkebunan. Selanjutnya beranda kanan sebab berhadapan langsung dengan kolam ikan persegi yang ukurannya seluas kamar utama.
Selepas dua kali melihat-lihat pemandangan yang sama, aku masuk dapur. Aku memaksa bi Acih untuk mengizinkanku mengolah makanan. Mulut itu langsung saja menebarkan wejangan yang masuk telinga kiri, keluar dari kanan.
Kutata meja makan secantik mungkin. Gurame asam manis, kentang terbang dan capcay sudah tersaji di sana. Tak lupa jus jambu merah dicampur susu instan diletakkan di kanan piring yang ditelungkupkan.
"Kenapa masak. Kamu'kan baru sembuh?"
Mata den Arya sedikit menajam saat tahu aku ikut andil dalam tersajinya hidangan. Aku hanya melengkungkan dua sudut bibir, lalu mengambilkan makanan untuknya.
"Maaf, tapi aku bosan duduk-duduk saja di kamar."
Itu ucapan pertama dan terakhir saat kami makan. Seperti biasa acara ini hanya dihiasi dentingan. Saking senyapnya, tegukan air pun terdengar. Kadang, aku mencuri pandangan berharap dia pun sedang melihat ke sini. Sekali, dua kali hingga berkali-kali. Sama saja, ia tetap khusyuk pada santapannya.
Lepas makan Den Arya kembali ke kamar, begitu juga diriku. Oh, sampai kapan kondisi ini menjerat hidupku.
Jemu, aku jemu!
Tak sampai satu jam, aku keluar dari kamar. Lebih baik duduk di gazebo belakang. Mungkin bisa menghilangkan kebosanan
Langkahku terhenti kala netra menangkap den Arya telah ada di sana. Ia duduk menopangkan satu kaki pada pahanya. Tampaknya sedang asyik berselancar di dunianya sendiri.
Kubalikkan badan sebelum lelaki itu melihat. Baiknya tak masuk dalam kondisi membingungkan. Ya, pastinya membingungkan kalau aku ada di sampingnya. Mau apa?
"Anjani, sini!"
Terlambat! Ia telah melihat. Tajam sekali instingnya. Sambil menunduk aku menghampiri, lalu duduk di sisi kiri. Jaraknya kira-kira setengah meter darinya.
Pemilik rambut ikal itu menyimpan ponselnya di saku celana. Sekilas melirikku, sepanjang satu helaan napas diarahkan kembali netranya menuju bentangan permadani raksasa.
Semenit, dua menit tak ada satu pun dari kami yang bicara. Di tengah keheningan, kunikmati sketsa alam. Di sana ada gulungan awan di atas perkebunan. Bentuknya serupa tirai diikat bergelombang yang disematkan pada sisi-sisi ranjang. Gundukan dedaunan adalah kasurnya. Pengantin-pengantin ulat itu pastilah sedang gegap gempita. Mereka pastinya sedang menikmati manisnya pertautan raga.
Tidak seperti pengantin yang sedang duduk di sini. Raga bersama, tidak untuk jiwa. Jarak di antara kami terlalu membentang. Seumpama bumi dan langitnya.
"Anjani. Jika di depan Alisa aku kurang memperhatikanmu, tolong maafkan aku. Baginya pernikahanku denganmu adalah pukulan di atas pukulan akibat kehilangan rahim. Aku tak ingin ia terluka lebih dalam."
Ungkapan itu mengurai kecanggungan di antara kami. Tiap kata yang keluar dari bibirnya, mengandung pesan kesedihan. Penuturan itu serupa pernyataan betapa besar cintanya pada den Alisa.
"Tapi, aku juga tak ingin membuatmu menderita hingga berpikir untuk mengakhiri kehidupan."
Sekarang terjawab sudah pertanyaan yang mengganggu jiwa. Ternyata den Arya hanya kasihan padaku. Ia tak pernah dan tak mungkin mencintaiku. Kalaupun nanti kami menghabiskan malam bersama, itu tersebab penunaian kewajiban saja.
Kupalingkan wajah dari tatapan yang hanya akan mewujudkan kepalsuan harapan. Aku tak ingin larut dalam andai dan andai. Sebelum benih cinta itu datang, baiknya bunuh saja dari sekarang.
Cepat-cepat kuseka bulir bening yang lancang meluruh. Dasar tak mau kompromi. Sudah kutahan padahal. Sekali, dua kali tangan ini mengusap pipi. Duh, kenapa tak bisa berhenti?
"Anjani."
Di tengah kesibukan membersihkan jejak airmata, satu sentuhan menyapa raga. Tak kurang dari semenit, kepala ini terbenam di antara dua selipan lengan lelakiku. Di dadanya tangis ini pecah jua.
Den Arya kalau tak bisa mencintaiku jangan melambungkan asa ini melebihi batas pertahananku.
*
Novel SENTUHAN SATU MALAM ready stok
Rp 99 000
PEMESANAN
https://wa.me/6281261934594
KAMU SEDANG MEMBACA
SENTUHAN SATU MALAM
RomanceAnjani seorang gadis yang tertawan budi keluarga Suradisasatra. Dia harus rela dinikahkan dengan den Arya, putra tunggal keluarga itu. Anjani tersiksa dengan sikap dingin lelaki yang telah jadi suaminya. Sampai suatu malam, den Arya memintanya meng...