"Aku bisa jelasin, Kak!" Seru Laila. Air mata menetes dari matanya. Tangannya mengepal kuat menahan isakan.

"Jangan menangis, kamu tau dengan pasti kalau air mata kamu adalah kelemahan saya. Saya muak menjadi lemah karena kamu"

Laila kehilangan kata-katanya. Ucapan Adnan sempurna menambah deretan luka dihatinya. Adnan muak dengannya. Lantas apa gunanya pernikahan ini?

Demi Tuhan, Laila sudah sekuat tenaga menahannya, bahkan ia menggigit bibirnya sendiri. Tapi gejolak itu lebih kuat, kesedihan yang berkumpul di dadanya sungguh menyesakkan. Isakan itu keluar, dengan jelas, ditengah sepinya ruangan.

"Saya bilang jangan menangis!" Teriak Adnan sembari berdiri.

Laila menghapus air matanya kasar, ia bahkan dibuat mundur beberapa langkah karena ketakutan.

Adnan tidak bisa berpikir jernih lagi, hingga sebuah tangan ringkih mulai menyentuh ujung jarinya. Adnan mengalihkan pandangannya, maniknya langsung bertemu dengan manik mata ayahnya yang kini menatapnya sendu.

Adnan membelalak, "Ayah!" Seru Adnan.

Adnan segera menekan tombol yang ada disebelah ranjang, hingga tak lama seorang dokter dan dua orang perawat datang untuk memeriksa Farhan-ayah Adnan.

Tak berselah lama akhirnya dokter itu bisa bernapas lega, karena kondisi Farhan sudah kembali stabil.

"Pak Farhan sudah stabil, tapi jangan diberi bahan pembicaraan yang berat dan bisa memicu stres beliau" Ujar Sang dokter pada Adnan. Adnan mengangguk mengerti lalu mengantar dokter keluar dari ruang rawat inap.

Sementara itu Laila sedari tadi masih terus mematung. Ia merasa semakin kecil bahkan disaat Adnan tidak melihatnya sedikitpun. Adnan menganggap Laila tidak ada, bahkan tidak mempersilakan Laila mendekat kearah ayahnya.

Adnan kembali masuk, lalu tersenyum hangat menatap sang ayah, "Ayah jangan suka buat aku khawatir"

Farhan terkekeh pelan. Anak semata-wayangnya ini memang paling menyayanginya. Farhan menjadi merasa bersalah tiap kali ia harus masuk rumah sakit dan merepotkan putranya.

"Laila kenapa berdiri disitu? Sini duduk" Panggil Farhan.

Laila menegakkan kepalanya. Menatap ayah mertuanya yang begitu lembut. Laila melirik Adnan sekilas, pria itu masih terdiam disisi sang ayah. Laila memberanikan diri mendekat, berjalan pelan dan berdiri kaku disebelah Adnan. 

"Ayah harus istirahat, jangan banyak gerak dulu" Ujar Adnan.

Farhan menggeleng pelan, ia bahkan meminta tolong Laila untuk menegakkan ranjangnya, sehingga ia bisa duduk bersandar. Laila tersenyum kaku, lalu segera menuruti permintaan pria yang kini sudah menjadi ayahnya.

"Maafkan orang tua ini ya, kerjaannya hanya mengagetkan kalian saja" Ujar Farhan pada Laila.

"Ayah ngomong apa sih, Yah?" Sahut Adnan tidak setuju dengan ucapan ayahnya. 

Farhan terkekeh pelan, "Liat aja ini Laila nggak sempat ganti seragamnya karna ayah" Sambung Farhan merasa bersalah.

Laila tergugu, ia mulai mengancingkan jaketnya pelan. Adnan yang melirik Laila hanya bisa tersenyum miris, bahkan istrinya baru pulang selarut ini bersama pria lain.

Lail, aku ini tidak bodoh, kekuasaan yang aku punya sudah lebih dari cukup untuk mengetahui setiap detik keberadaan kamu. Kamu tau, Lail? disaat seperti ini aku benci karena aku berkuasa, karena dengan begitu, sakit ini semakin jelas terasa. 

Melihat Adnan dan Laila yang tidak berinteraksi sama sekali, Farhan dengan jelas paham ada yang tidak baik dengan rumah tangga anaknya. 

"Adnan, boleh ayah bicara berdua dengan Laila?" Tanya Farhan.

LAILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang