1 | the beginning

Start from the beginning
                                    

"Lo udah kasih lihat profil gue ke dia?" Gantian Raline yang bertanya.

Ibel mengangguk.

"Kesan pertamanya gimana?"

"Mau kenal lo lebih jauh."

Selama beberapa saat, Raline meneliti LinkedIn di layar ponsel di tangannya itu. "Ada medsosnya nggak? Ngeri banget, LinkedIn-nya mentereng, tau-tau medsosnya jamet."

"Ada, tapi diprivat."

Raline manggut-manggut, puas. "Oke, deh. Tolong bikinin janji ketemu, ya Bel."


~


Pada hari yang dijanjikan, Raline tiba di lokasi, on time. Bukan untuk membuat kesan pertama yang bagus, tapi lebih karena dia menghargai dirinya sendiri, menghargai waktunya yang berharga.

Sesuai ekspektasi, Ibel memilihkan restoran yang oke. Tidak ramai, dalam artian, jarak antar meja tidak terlalu dekat. Menyediakan menu lokal dan western. Ditambah city light sebagai background.

Hanya satu yang off, tampaknya Ibel lupa reservasi.

"Beneran nggak ada reservasi atas nama Isabelle Tanjung, Mbak?" Mood Raline seketika merosot dari sembilan ke tujuh.

"Benar, Ibu. Nggak ada reservasi atas nama tersebut. Tapi kami masih ada table kosong untuk dua orang."

"Kalau atas nama Christian Dirgantara, atau Raline Arsjad, ada?"

Petugas bagian pemesanan yang dia tanya itu memeriksa daftar miliknya sejenak, dengan lebih teliti. "Mohon maaf, Bu, untuk dua nama itu, nggak ada juga. Mungkin bisa dibantu, tanggal dan pukul berapa mengajukan reservasinya?"

Mana Raline tau!

Agak gondok, Raline kemudian mengambil meja yang kosong itu, sebelum diserobot pengunjung lain.

Sudah dandan cakep-cakep, masa dia harus pulang gigit jari?

"Wait ..." Sebuah pikiran mendadak lewat di kepalanya.

Sekarang sudah lewat lima menit dari waktu janjian.

"Sebelum saya dateng tadi, ada pelanggan datang sendirian, atas nama Christian Dhirgantara, nggak?"

Sekali lagi, sang petugas menggeleng. Mulai merasa tidak enak hati karena tidak bisa membantu.

Pasrah, Raline pun mengangguk-angguk.

"Ya udah deh, Mbak, saya ambil table yang tersisa. Nanti kalau Pak Christiannya dateng, tolong anterin ke meja saya, ya."

Selanjutnya, Raline diantar oleh petugas lain menuju mejanya.

Sambil berjalan, dia memandang sekeliling restoran, berharap muka Christian yang baru sempat dia lihat lewat foto profil LinkedIn itu ada di antara para pengunjung.

Tapi sayang, keterbatasan waktu membuatnya tidak menghasilkan apa-apa. Konyol juga kalau harus celingukan, kan?

Sekian menit duduk, mood Raline semakin turun.

He's ten minutes late now. What an asshole.

Raline kesal, tapi berusaha positive thinking.

Tuh orang baru banget pulang ke Jakarta setelah sekian lama di luar negeri, mungkin kalkulasi waktunya buat menempuh perjalanan masih jelek. Atau mungkin nyasar dikit. Atau kejebak banjir.

Dia putuskan menunggu lima menit lagi sebelum memesan minuman lebih dulu.

Tapi sial, bahkan setelah minumannya tiba, si ganteng jahanam ini belum kelihatan batang hidungnya.

Dengan emosi tertahan, dia mengetik pesan pendek ke Ibel.


Raline Arsjad
Asyem, laki pilihan lo tukang ngaret.
Jijik banget.


Tidak dibalas.

Tidak mengherankan, temannya yang gila kerja itu pasti masih sibuk di kantor.

Sebenarnya, Raline bisa saja langsung menghubungi Christian. Tapi sudah terlanjur turn off.

Semalam, mereka sudah saling contact, dalam rangka memastikan jadi tidaknya pertemuan malam ini. Masa iya, harus dihubungi lagi? Pria dewasa macam apa tuh??

Sialan memang. Harusnya Raline sudah bisa menebak, bahwa di dunia ini memang nggak ada cowok yang worth it untuk diberi perhatian olehnya.

Sudah terlanjur duduk, Raline pun memutuskan sekalian makan saja.

Beberapa puluh menit kemudian, baru juga dia mengunyah beberapa iris daging di piring, sebuah telepon masuk menggetarkan ponselnya dalam tas.

Christian Asshole Dhirgantara.

Dengan malas, Raline menerimanya. Menyahut dengan suara pelan supaya tidak mengganggu pengunjung lain. "Ya?"

"Are you okay?" Shit. Suara baritonnya terdengar seksi. Tapi sayang, Raline sudah membulatkan tekad untuk mencoret pria keparat ini dari daftar. "You didn't show up out of the blue."

Raline sudah siap mengomel tatkala pertanyaan dari Christian menyangkut juga ke otak. "What do you mean? I got here at eight sharp, and am currently munching on my steak."

"Got where?"

Dahi Raline mengerut. Tanpa berpikir, dia menyebutkan lokasi tempatnya berada saat ini.

"But didn't we make an appointment at Henshin?" Di seberang sana, Christian terdengar bingung. "I got here at eight on the dot, and you didn't show up until an hour later. I was so worried something might happen to you on the way."

"Wait a second ...." Dengan cepat, Raline menjauhkan ponselnya demi memeriksa pesan dari Ibel, mengenai reservasi yang katanya telah dia buatkan untuk pertemuan malam ini.

Henshin, Wednesday, 8 p.m.

Untuk pertama kali dalam hidup, Raline mengaku dungu dan pikun. Ingatannya telah tertukar. Lokasi ini adalah tempat pertemuan lainnya, dengan klien, besok, pada pukul yang sama. Sedang malam ini, harusnya dia ke Henshin.

Tuhan ... tolong turunkan hujan badai malam ini.


#TBC



Mission 21+On viuen les histories. Descobreix ara