1 | the beginning

41.8K 2.7K 187
                                    

Dear, pembaca yang baik hati dan tyda sombong, komen di setiap paragraf juseyo~


"Gue punya jodoh buat lo."

Ucapan Ibel begitu menginjakkan kaki di unit apartemen Raline itu sontak membuat tiga perempuan yang sudah lebih dulu berada di dalam menoleh.

"Buat gue?" Ayu menunjuk mukanya sendiri, dengan senyum manis penuh harap.

Sayangnya, Ibel menggeleng. "Raline, Babe. Kalau buat lo, susah. Main gue masih kurang jauh buat nyari cowok mapan spek ustadz. Kenalan gue masih di level 'yang butuh diruqyah sama ustadz'."

"Yaaah ...." Ayu berlagak kecewa, sementara Raline masih melongo cukup lama.

"Kok, gue?" tanya sang tuan rumah kemudian, masih belum paham.

"Bukannya lo minta dicariin jodoh?" Ibel bertanya balik.

Raline masih terbengong-bengong selama beberapa saat lagi, hingga kemudian ber-'ooh' panjang dan mengangguk-angguk setelah Riris juga mengingatkan momen yang terjadi beberapa bulan lalu itu.

Klise. Raline baru saja mengunjungi rumah orang tuanya di Jogja, dan sebagaimana yang terjadi pada kunjungan-kunjungan rutin sebelumnya, dia kembali mendapatkan pertanyaan template, "Kapan nikah?"

Sebagai anak perempuan sulung yang bahkan nggak menyelesaikan pendidikan sarjana, bisa dimengerti jika dia punya pressure cukup tinggi untuk membuktikan bahwa hidupnya baik-baik saja. Tujuh tahun keluar dari rumah, berdiri di kaki sendiri tanpa sepeserpun modal dari orang tua, masih juga kurang dipandang hanya karena dia belum berkeluarga.

Memang, bisa-bisa saja Raline mengabaikan tuntutan itu jika tidak berniat menikah sama sekali. Tapi yang terjadi sebenarnya, Raline tidak menentang ide itu. Sebaliknya, dia mau-mau saja menikah. Kalau saja ada jodohnya.

"Jadi, udah nggak butuh?" Ibel mencecar, seolah sedang terburu-buru.

"Bukan gitu." Raline segera menahan lengan temannya supaya tidak beralih fokus dari dirinya. "Sebenernya, belakangan udah nggak pernah ditanya-tanyain lagi, sejak gue sogok pakai Bentley. Tapi, kalau jodoh dari lo oke, why not?"

Riris—satu-satunya yang sudah menikah diantara mereka berempat—cuma geleng-geleng kepala. Sementara Ayu yang kecewa nggak jadi dikasih jodoh, pilih menyibukkan diri dengan menoel-noel pipi Tiger, batita gembul yang sedang berbaring terkantuk-kantuk memeluk boneka Barney di karpet, anak perdananya Riris yang bentuknya bulat kayak mochi.

Puas melihat antusiasme temannya, Ibel pun mengeluarkan ponsel dan membuka LinkedIn.

"Christian, 33, a VC—Venture Capitalist. Udah sebelas tahun tinggal dan kerja di NYC, tapi sekarang lagi mau bikin firm di Jakarta, dan berencana pindah permanen ke sini."

"Ganteng." Raline langsung oke melihat profilnya.

"Dia mirip lo." Ibel melanjutkan. "Gue udah kenal dan intens contact-an selama setahun. So far, personality oke. Tipikal yang aware what he brings to the table, tapi nggak sampai self centered—tipe lo banget deh. Gue kenalnya dari link terpercaya. Kalau lo Googling namanya, keluar semua silsilah keluarganya, jadi nggak perlu khawatir background-nya fiktif. Dia lagi nyari istri. Kriterianya cuma satu, nggak ngerepotin."

"Yakin, nggak ngerepotin doang cukup?" Ayu menggumam pesimis, padahal Ibel kira, temannya satu itu tidak mendengarkan sejak tadi.

"Ya kalau, visual, attitude, bibit-bebet-bobot mah nggak perlu dicantumin, kali? Udah pasti wajib. Ya, kan?" Riris bersuara, yang segera diamini oleh Ibel.

Mission 21+Where stories live. Discover now