🍀delapan belas;

10K 1.4K 38
                                    

Sore ini aku duduk di balkon kamar apartemen. Menikmati udara sore yang menerpa kulit wajahku, karena tubuhku dibalut piyama tebal atas saran Jeno. Aku gampang kedinginan akhir-akhir ini, itulah mengapa ia juga jadi mudah cemas. Terhitung sudah beberapa kali Jeno meneleponku hari ini, menanyakan bagaimana makanku, apakah merasa sakit, merasa mual, dan menanyakan bagaimana gerakan halus dari si bayi.

Aku tersenyum mengingat percakapanku semalam dengan Jeno. Ia bilang setelah bayi kami lahir nanti kami akan pindah ke rumahnya. Rumah miliknya sendiri lebih tepatnya. Apartemen terlalu berbahaya dan sempit untuk kami bertiga, membayangkannya aku tersenyum lagi.

Karena piyama tebal tidak cukup menghalau rasa dingin yang semakin menyentuh kulit tubuh, aku memutuskan kembali ke kamar dan mengunci pintu balkon. Menutup tirai sebelum merasakan rengkuhan pada perutku. Aku tersenyum tipis, mengusap lembut tangan suamiku.

Dengan bisik rendah ia menyapaku, tepat pada leherku, "kulitmu dingin, sayangku."

Aku tersenyum samar.
"Jeno, kamu menggelikan."
Dengan tawa Jeno meresponku. Memberikan kecupan hangat di leher dan tengkuk, dia menuntunku untuk sampai pada ranjang.

"Mendung, sayang. Pekerjaan selesai. Kuputuskan untuk kembali padamu secepat yang aku bisa,"
Jeno melepas kemeja hitamnya, melemparkan ke keranjang pakaian kotor sebelum bergabung denganku ke dalam selimut.

Aku tertawa pelan, "mengagumkan. Tapi aku tetap akan merecokimu dengan untaian kata Jeno jangan mengebut setiap kamu bilang kembali padaku secepat yang kamu bisa."
Aku menggumam di akhir. Jeno tertawa dan mengusap perut tujuh bulanku di balik selimut. Aku ikut tertawa saat ia dengan manja mengusalkan wajah di leher dan turun ke dadaku.

"Papa, ada apa denganmu?"
Aku meremas halus rambutnya. Jeno menggeleng, menciumi dadaku yang masih terbalut piyama.

Aku mengernyit, "Papa..."

"Aku menginginkanmu,"
Jeno mengangkat wajah, menatapku dengan mata sedikit berair. Aku menganga.

Apa dia bilang?

Aku akan menyela ketika dia menggeleng pelan, kembali membenamkan wajah di dadaku.
"Tidak jadi, sayang..."
Ia bergumam lirih. Aku memeluk kepalanya dengan sayang.

"Sebentar lagi..."
Aku balik bergumam lirih. Jeno mengangguk pelan. Tangannya mulai membuka kancing piyamaku satu per satu. Aku merasa gelisah namun juga tak berani lancang untuk menyudahi.

"Aku...carikan kaus ketat saja? Kamu suka mengenakannya, kan?"

Aku setengah melebarkan tatapan. Jeno memasang wajah memohon.

"A-aku suka, Papa. Tentu saja. Aku akan mengenakannya."
Dengan tergagap aku mengiyakan. Jeno lekas bangkit menuju lemari, memilih kaus yang kemungkinan sangat ketat di tubuh agak berisiku.

Aku duduk tegak. Jeno melepaskan piyama dari tubuhku, menyentuh halus dadaku hingga membuatku melenguh halus, refleks.
Jeno menyeringai halus. Aku tidak berpikir jernih, semua tentang Jeno, tapi aku mana bisa melayaninya untuk sekarang?

Aku mendongak untuk menatapnya. Jeno mulai memasukkan kaus melewati kepalaku, memasukkan tanganku pada lubang lengan kaus, dan selesai. Kaus ketat pilihannya telah kukenakan. Tepat pada bagian perut hanya setengah yang dapat tertutupi.

Aku memiringkan kepala menatap Jeno yang sibuk menatap tubuhku.
"Jeno, apa yang salah darimu?"

Jeno mengangkat kepala, menatapku tepat di mata, "tak apa, aku suka melihatmu begini."
Dengan suara lirih ia menjawab. Dengan bantuannya aku berbaring, ia turut berbaring di sebelahku dengan memeluk perut hingga pinggangku.

"Jeno, maaf, tunggu dua bulan lagi saja?"
Aku mengusap halus pipinya. Jeno mengangguk. Membenamkan wajahnya di dadaku, lagi.

"Baby, setelah lahir kamu akan langsung memiliki adik."
Gumamannya masih dapat kudengar. Dengan segera aku menepuk keras kepalanya hingga Jeno meringis kencang di kamar kami.

to be continued.

AldebaranWhere stories live. Discover now