🍀tiga;

14.7K 2.1K 231
                                    

Sejak pukul tiga malam tadi, kami tidak tidur. Hanya memandangi langit-langit kamar sambil merenungi sesuatu.

Jeno dengan pemikiran atas ajakannya. Dan aku dengan pemikiran menerima atau menolaknya.

Sekarang pukul delapan lebih dua puluh tujuh. Aku sudah dengan posisi duduk di sampingnya, sebenarnya sejak semalam kami sudah seranjang.

Jangan berpikir hal lain, moron.

"Ayo."

Jeno lekas bangkit. Menatapiku dari samping, aku enggan menoleh.

"Ke rumahku atau pulang ke rumahmu?"

Aku menghela napas. Aku bisa membantunya, "ke rumahmu, Jeno."

"Ya?"
Matanya membulat, kemudian menyipit lagi, tersenyum lebar.
"Jaemin, jjang!"

"Ibuku tidak masalah jika kamu hanya memakai piyama itu saja. Ini, jaketmu. Eh,"

Tanganku hampir menggapai jaket milikku yang ia sodorkan. Tapi tak jadi, dia memberi jaket hitam miliknya padaku, kuterima dengan bingung.

"Pakai," ujarnya sambil melipat jaket milikku, "biar aku simpan ini."

Aku berdiam saja. Terlalu biasa saja, sungguh, tidak ada debaran. Memakainya, dan kami keluar dari kamar hotel mewah dengan dia yang masih memakai kaos serta celana pendek. Aku mengernyit, terlampau santai untuk seorang berjabatan presiden direktur.

❄❄❄

Aku berdiri di depan rumah yang jauh lebih besar dari rumahku dulu. Tidak terkejut, karena itu sangat pantas, mengingat dia memiliki perusahaannya sendiri.

Jeno berjalan lebih dulu, tidak memegang tanganku, dia tak menyentuhku sama sekali. Kecuali menggantikan pakaian, aku mendesah pelan.

"Ibu?"
Ia hanya bergumam. Terus berjalan menuju dapurnya, aku langsung berpikir dan membayangkan, akan nyaman sekali memasak di sana.

Seorang yang manis masuk lewat pintu belakang, tersenyum menatapi kami.
"Jeno. Darimana saja? Dan...?"

"A-"

"Na Jaemin."

Jeno lebih dulu menjawab. Aku mengangguk dan tugasku hanya tersenyum.

"Aku Doyoung. Senang bertemu dengan teman Jeno."
Jeno berdehem setelahnya. Menatapku untuk memberi isyarat agar aku mengikutinya menaiki tangga.

Aku membungkuk pada Doyoung, mengikuti langkah Jeno dengan santai, mendengar kekeh pelan dari Ibunya.

"Mengapa tidak mengobrol dulu, sih?"

"Istirahat dulu, Nana."

Aku menatapi punggungnya. Panggilannya sangat tepat.

"Kebetulan memang aku dipanggil Nana."

Jeno terkekeh. Mengangguk, "selamat datang di kamarku. Kita."

Tanpa perasaan, pipiku memerah.

"Jeno..."

Dibalas dengan bergumam.
"Aku kelaparan-"

Jeno mendekat, duduk di sampingku.
"Maaf, boleh aku menyentuh rambutmu?"

Tanpa bertanya aku hanya mengangguk, tanpa debaran, namun pipiku hangat rasanya.

Tangannya menyentuh rambutku. Mengelus, merapikan, meniup poniku hingga mataku terpejam tanpa sadar.
"Wah, bulu matamu cantik."
Bisiknya.

Pipi kananku disentuhnya, diusapnya pelan, aku merasa napas kami bertabrakan.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun sebelum itu terlaksana, pintu dibuka hingga membuat kami menoleh cepat.

"Jaehyun sialan!"

"Ups! Maaf, son. Aku tak sengaja, hei, tahan dulu!"

Wajahku memerah. Jeno bangkit setelah mendengar lelaki yang membuka pintu kami tadi membantingnya sambil tertawa. Ia mengunci pintu, kemudian kembali duduk di sampingku dengan canggung.

"Maaf. Aku keterusan. Maaf, ya, Nana."

Aku tersenyum, mengangguk, "kamu sopan sekali, ya."

Menyeringai, dan ia balas dengan seringaian tipis. Kemudian kami tertawa.

"Yang tadi ayahku, Jaehyun."

Aku agak terkejut, "ayahmu masih tampan sekali, sungguh!"

"Sssttt, kamu bisa ditendang ibu jika berkata seperti itu di depannya."

Aku lekas menutupi mulutku, mengangguk samar. Jeno terlihat melirik malu-malu, "dan aku bisa saja menendangmu jika kamu memuji lelaki lain selain aku."

Plak

"Auhh..."

❄❄❄

Jeno meringis di pahaku. Sejak dia merengek sakit atas tamparanku di pipinya, ia hanya berbaring dengan pahaku sebagai bantalannya. Aku menunduk memandanginya dengan rasa bersalah.

"Maaf. Aku refleks, bibirmu itu sedikit gila, tidak ter-kontrol, bodoh."

Jeno merengek ketika aku mulai cerewet, aku berdecak masam.

"Maaf."
Aku mengusapi pipinya yang agak memerah. Pedas juga tanganku.

Jeno menaruh tangannya yang menganggur di atas kakiku yang terlipat. Aku biasa saja, sih. Anak ini manja sekali.
"Jeno, aku lapar."

"Iya, sebentar lagi, Nana."

"Kamu sengaja melaparkanku? Tidak bertanggung jawab sama sekali."
Aku berdecih, tapi masih mengusapi pipinya.

"Hm."

Dia hanya bergumam, sialan.

"Jeno, kita menikah tanpa rasa cinta."

"Lalu?"

"Memangnya kamu bisa?"

Jeno menepuk pelan kakiku, "bukan soal membantu saja, sih. Tapi aku benaran. Kamu, berilah hatimu padaku."

Jeno mulai aneh dan gila. Matanya terpejam, "dasar sinting."
Aku bergumam, entah dia mendengar atau tidak.

Tanganku berpindah pada lengannya, memijatnya pelan-pelan sampai dengkur halusnya terdengar. Makan urusan nanti sajalah, walau napsu makanku sedang naik-naiknya. Aku menemani si sinting ini dulu saja.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang