🍀lima;

12.4K 1.8K 211
                                    

Pukul sembilan malam. Aku duduk di sofa yang ada di balkon, menikmati pemandangan dan udara malam, sampai sebuah selimut tersampir di bahu.

"Udara malam itu tidak baik,"
Itu Jeno. Memang siapa lagi. Kamar ia kunci sejak selesai makan malam tadi.

Aku menggumam saja. Jeno duduk di sampingku, ikut masuk ke dalam selimut yang tadi ia sampirkan padaku.

Keningku berkerut, menoleh padanya, "pipimu..."

Jeno tersenyum, matanya ikut tersenyum, "tak apa, sayang."
Gila. Dia menyeringai? Aku tidak merasa spesial, Jeno!

Hanya memutar bola mata dengan malas sebagai balasanku. Jeno terkekeh pelan.

"Kemari, bersandarlah. Kita harus menciptakan chemistry, mungkin?"
Dia menarikku seenaknya, membuatku mendaratkan kepala di bahunya, menurut sajalah.

"Kamu yakin, Jeno?"

"Ya. Aku menyukaimu, itu serius."

Aku melirik dagunya, "tapi aku tidak, eum, belum."

Jeno menepuk bahuku pelan, karena tangannya merangkulku.
"Tak masalah. Pelan-pelan, Jaemin. Aku paham, kamu belum pernah berada dalam hubungan, mungkin kamu orang yang sulit memulai?"

Aku mengerutkan kening, "tidak tahu. Aku tidak peduli,"

Jeno mengangguk, "kemudian, apakah kamu yakin?"

Aku sempat berkedip beberapa kali. Merasakan rangkulnya yang begitu hangat. Teringat calon mertuaku adalah orang-orang yang baik, ramah, dan hangat, aku akan mendapat sosok orangtua lain yang...bagus?

Mengangguk sebagai jawabanku. Jeno terkekeh, mengecup pelipisku sebentar. Aku ikut terkekeh.

"Maka dari itu, jangan menampar wajahku lagi ketika aku melakukan skinship padamu, Nana."

Aku tertawa konyol.

❄❄❄

Jeno pergi bekerja bersama Jaehyun, aku sendirian. Ibu pergi pagi tadi setelah diajak temannya. Serius, aku sendirian!

Aku mengelilingi rumah besar ini hingga lelah. Posisiku sedang duduk di lantai sambil meminum jus jeruk yang kuambil dari kulkas, kembali terpikir untuk persiapan pernikahan. Tidak mewah, hanya di gereja, kemudian Jaehyun hanya akan mengumumkan siapa menantunya, itu atas permintaan Jeno.

"Ah, Jeno. Harusnya kamu tidak bekerja dulu,"
Aku bergumam, kecewa, sedangkan mulutku mencebik sambil menunduk menatapi lantai.

"Rindu, sayang?"

Plak

"Demi Tuhan, Jeno! Aku terkejut!"

Aku akan melanjutkan omelanku jika Jeno tidak meringis sambil menutupi wajahnya yang barusan kutampar.

"A-ah, maafkan aku..."
Aku panik. Segera mendekatinya, menarik pelan tangannya dan menangkup pipinya.

"Shh-"
Jeno meringis, aku mencebik, mengelus lembut pipinya.
"Cup cup, berhentilah sakit di wajah tampan ini..."
Aku bergumam, meniupi pipinya sesekali.

Jeno terkekeh. Tangannya memeluk pinggangku, "aku merindukan Nana."
Aku hampir saja menangis karena merasa bersalah, tapi dia malah...bermanja?!

Alih-alih menamparnya lagi, aku malah melingkarkan tangan di lehernya. Entahlah, aku butuh dimanja juga sekarang, "aku bosan, Jeno. Harusnya kamu menemaniku saja."

Jeno tertawa, mengusalkan wajahnya pada leherku, "aku pulang, sayang. Aku di sini."

"Menjijikkan."
Aku yakin Jeno tersenyum konyol di sana.
"Tidak ke kantor lagi, kan?"
Aku bicara sambil merengek, tanpa kusadari.

"Iya, sayang. Tidak. Aku bilang pada Jaehyun dan dia bilang boleh, asal tidak membuat kue."

Aku mengerutkan kening, "kue? Ayah tidak suka kue?"

Jeno tertawa keras, mengeratkan pelukan dan meremas pelan pinggangku. Aku semakin bingung, melepas pelukan, kemudian menatapnya.
"Apa, Jeno? Kenapa?"

Tangannya masih memegang pinggangku, "belum saatnya kamu mengerti, sayang. Nanti saja,"

Aku penasaran, tapi tidak peduli, sih.

"Mau berpelukan di dalam selimut?"

Aku mengangguk dengan senyum lebar. Jeno berdiri dan mengulurkan tangannya, aku menyambut, kemudian kami berjalan dengan omelanku menuju kamar. Hanya berpelukan, tak lebih, Jeno sopan sekali!

Tapi saat di kamar, Jeno mendapat telepon dari temannya, mengajak Jeno makan siang bersama. Suaranya adalah suara perempuan, Jeno menanggapi dengan tawa dan malah asyik mengobrol dengannya. Aku didiamkan.

Dan kakiku melayang pada tubuhnya. Kemudian tubuhnya melayang dari ranjang ke lantai.

Pulangkan aku, Jeno!
Gila, aku menangis!

to be continued.

AldebaranWhere stories live. Discover now