🍀dua belas;

10.3K 1.6K 100
                                    

"Nana..."

"Pergilah, Jeno. Kamu lembur, kan? Aku muak melihatmu."
Aku melipat baju yang sengaja kuhamburkan dari lemari tadi. Aku mengamuk. Entahlah suasana hatiku semakin buruk.

Jeno duduk tepat di sebelah ranjang, di lantai. Aku takkan memandang wajahnya, tidak sudi.
"Aku bisa jelas-"

"Jeno."

Dia diam. Aku juga.

Menit berlalu. Aku melempar yang sudah kulipat ke dalam lemari, menimbulkan bunyi gemerisik halus.
"Aku tak menerimamu lagi. Aku akan pergi, sementara kamu lembur untuk menikahi perempuan itu. Pergilah, Jeno. Ceraikan aku, tak apa."

Aku berdiri. Sudah berpakaian layak untuk berpikir melarikan diri. Melangkah keluar kamar, menutup pintu sepelan mungkin, aku keluar dari apartemen. Tujuanku adalah bertemu Doyoung, meminta maaf untuk segala hal.

Jeno tak mengejar. Dia cukup banyak diam setelah menyaksikan aku melempar ponselnya hingga hancur berkeping.

❄❄❄

Aku meringkuk dengan kepala di pangkuan Doyoung. Setelah selesai bercerita, aku tidak menangis, tapi rasanya hatiku sangat terasa sakit. Doyoung menghubungi Jaehyun. Aku agak meringis ketika pandanganku berkunang.

Aku tak mengeluh pada mertuaku soal ini. Tapi perutku benar-benar sakit seperti dicengkram kuat, kemudian mual melandaku hingga aku terseok bangun dari pangkuan Doyoung, mencoba menunduk untuk menekan perut sekalian untukㅡ kelepasan mual. Untungnya tidak muntah.

"Ada apa, Nana? Kamu kenapa?"
Doyoung dengan sigap membantuku berdiri, mengajakku ke kamar mandi. Memegangiku ketika aku hampir tumbang.

"Sakit,"
Dengan lirih aku masih memberi suara. Doyoung panik. Tanganku masih menekan perut. Doyoung menekan tengkukku ketika aku mulai mual dengan hebat, muntah tak berarti yang membuatku lemas dan sesak napas.

Aku tak bisa menahan lagi, perlahan aku melepas cengkramanku pada pinggiran westafel, merasakan keringat dingin menetes, sampai hanya teriakan Doyoung yang kudengar sebelum semuanya gelap.

Aku membuka mata. Begitu sadar selang oksigen mengisi lubang hidungku, aku tergesa menoleh ke samping kanan, matahari menabrak pandanganku dan seaaat membuatku menyipit karena silau. Aku melirik jam dinding yang tepat berada di atas jendela tersebut, pukul empat sore rupanya. Cukup lama aku tertidur.

Terakhir yang kuingat adalah rasa sakit yang teramat sangat di perut. Pintu dibuka dengan cukup keras, Doyoung masuk bersama Jaehyun.

"Sayang, kamu sudah sadar. Syukurlah,"
Aku agak mengernyit mendengar perkataan mertuaku, Jaehyun menghela napas.

"Aku baru saja tertidur tadi siang, bu..."

"Kamu sudah tidur selama dua hari, Nana."
Jaehyun menyahut. Aku agak melebarkan mata, kerongkonganku kering rasanya. Doyoung mengusap rambutku.

"Aku kenapa?"

Sebelum Ibu menyahut, pintu terbuka lagi. Jeno di sana. Aku mengernyit, merasa kembali sakit hati. Jaehyun menarik Doyoung untuk keluar, "bersiap akan kuhapus namamu dari silsilah keluarga, Jeno bodoh."
Jaehyun bergumam tepat ketika melewati Jeno.

Jeno tersenyum canggung, mendekatiku dan menggenggam tanganku yang bebas infus.
"Bagaimana?"

Bibirku terasa kering sekali, hanya anggukan lemah yang dapat kuberikan.

"Nana, aku...maafkan aku, kamu tahu, aku sakit hati karena ditinggalkannya kemarin. Kemudian aku bertemu denganmu, membuatku dapat lupa dengannya hanya dalam waktu singkat. Dan dia datang lagi, mengajakku, aku terbuai. Dan...terjadi,"

Aku memejamkan mata sambil mengernyit karena pusing. Kepalaku seperti dipukul dengan keras. Jeno meremas pelan tanganku, "maaf. Aku harus menjelaskan ini, tapi sungguh tak ada yang lain, Nana. Selain mengajaknya untuk bertemu sore itu."
Dia mencoba menjelaskan.

Setelah kepalaku mulai tenang, aku membuka mata lagi, menatapnya.
"Lupakan. Kamu akan menikahinya, setidaknya lepas aku dulu."

Jeno menggeleng, duduk di kursi yang disediakan, dia mengecup pergelangan tanganku yang terlihat berisi. Aku lagi-lagi mengernyit.

"Sayang kamuㅡ kamu mengandung."

Aku melebarkan mata. Benar-benar terkejut. Yang benar saja?

"Dia terlalu kuat. Kamu...sakit karena hampir keguguran karena terlalu banyak berpikir,"
Jeno menjawab dengan tenang, agar membuatku tidak banyak terkejut.

"Maaf,"
Aku berbisik. Merasa tak nyaman karena hampir membahayakan anak kami karena kelalaianku.
Jeno menggeleng pelan, mengecupi tanganku, "tidak, sayang. Itu salahku. Maafkan aku,"

Aku menatapnya sangsi. Belum begitu yakin. Dan rasanya masih menyesakan dada mengingatnya mengiyakan gadis lain untuk menikah. Aku melirik perut rataku sebentar, jika sudah ada calon bayiku di dalam sana, Jeno tak bisa menceraikanku.

"Tapi, Jeno, tinggalkan saja aku. Kamu bisa menikah,"

"Sayang..."

Jeno menatapku nelangsa. Aku tak menatapnya, hanya mengalihkan pandangan ke jendela, ke matahari sore yang hangat.

"Maaf. Aku lelaki biasa, sayang, kapan saja aku bisa terbuai. Tapi beri aku lagi kepercayaanmu, maaf sudah merusaknya, sungguh, aku akan berusaha menjadi lelaki sejati untukmu dan...anak kita."

Setelah dua hari yang lalu. Aku menangis dengan keras, hingga suaraku serak.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang