🍀sebelas;

11K 1.6K 119
                                    

Sudah tiga bulan aku menjadi teman hidup dari seorang Lee Jeno. Kami sudah pindah ke apartemen milik Jeno sendiri, dekat dengan perusahaan pusat di Gangnam. Awalnya Doyoung menolak, namun permintaan Jeno harus ia turuti. Jeno bilang, ia harus menjaga privasi pernikahan. Entahlah, aku tidak terlalu memahami.

Aku juga semakin mandiri, selain untuk mengurus diriku sendiri, aku juga mengurus Jeno. Aku mulai menyukainya, namun perlakuanku masih terlampau biasa saja untuk dikatakan manis. Sementara Jeno sudah sering membuang ungkapan sayang padaku, yang hanya kubalas dengan senyuman.

"Sayang, nanti malam aku akan pulang larut. Jangan menunggu, ya, aku pasti pulang."

Di meja sarapan Jeno mengucapkannya. Suasana hatiku sekejap saja menjadi buruk, aku hanya diam, tidak merespon. Membuat Jeno mengangkat kepala dari layar ponsel untuk menatapku yang membuang muka.
"Sayang? Dengar aku?"

Aku mengangguk sekilas. Masih menunduk untuk mengolesi roti dengan selai. Aku tak bernapsu lagi.

Jeno bangkit, membenarkan jas kemudian menghampiriku, berlutut di hadapanku dan menggenggam tanganku.
"Ada apa, sayang? Bulu mata panjangmu tidak lentik seperti biasanya,"

Jeno meniup mataku, membuatku mengerjap cepat, "Jeno, di rumah saja."

Kening Jeno berkerut, jempolnya mengusap tanganku dengan lembut, "kamu sakit?"
Sekejap tangannya sudah menyentuh dahiku, aku menggelet ribut.

"Tidak, Jeno. Tidak. Aku hanya...ingin kamu di sini menemaniku."

Jeno terkekeh, "aku bekerja agar mendapat banyak uang, sayang, kamu ingin berkuliah lagi, kan?"

Rasanya mataku berkabut, bawah daguku rasanya sesak dan sakit, aku akan menangis!
Jeno lekas berdiri kemudian mendekapku dengan erat. Membisikan kata cinta, penenang, agar aku mau menggagalkan tangisanku.
"Ada apa, sayang? Jangan menangis, hm?"
Dia bergumam. Bahuku naik turun karena menahan sesak.

"Jeno di rumah sajaaa~"
Tangisanku pecah. Persis seperti anak ingusan yang merengek karena tidak diberi permen oleh ibunya. Aku benar-benar mendekapnya kuat.

"Tidak boleeeeeh, Jeno rumah sajaaaa, huks."

Jeno melepas pelukan, kemudian melepas jasnya, menggulung kemejanya hingga siku. Kemudian membawaku ke dalam gendongan. Membiarkan meja makan masih berantakan sisa sarapan kami barusan, dia membawaku ke kamar. Sesampainya mendudukanku di ranjang, mengecupi seluruh wajahku, mengusap air mataku, memelukku kembali. Aku masih terisak-isak, menyedot ingus yang mulai menggenang, sebelumnya aku memang sedang flu.

"Iya, Nana. Jeno tidak akan kemana-mana. Berhenti menangis, hm?"
Dia terus menepuk punggungku. Aku mengangguk samar, mendekapnya erat.

"Maaf, Jeno. Nana tidak mau sendiri, Nana ingin Jeno,"
Aku bergumam lirih. Menaruh dagu di bahunya dan merengek sesekali karena sesak ingusku di hidung.

Jeno terkekeh, "iya, sayang. Di sini, aku takkan pergi."
Aku balas terkikik pelan, mengabaikan sesak pernapasanku.

"Nana cinta Jeno!"

Kemudian, Jeno melepas peluknya hanya untuk melumat bibirku dengan rakus.

❄❄❄

Aku berdiri di depan westafel, tepatnya di hadapan cermin besar yang menampilkan aku yang sudah segar. Aku baru mandi. Jeno tidur pulas usai mengerjaiku tadi, aku tak bisa menolak. Pubertasku masih menggebu-gebu!

Tapi rasanya perutku sangat melilit. Serasa mual namun tak ingin muntah. Selebihnya tak ada masalah apapun, aku sedikit heran. Entahlah.
Aku kembali ke kamar. Memakai kaos putih kebesaran milik tubuh Jeno yang atletis. Kemudian aku keluar kamar. Menuju meja makan dan membereskan keadaan di sana.

Aku memutuskan untuk memasak. Saat sibuk mengaduk, ponsel Jeno berdering, aku mendatanginya dan mengangkat tanpa melihat kontak si penelepon.

"Halo?"

"Jeno! Ini aku, Siyeon, mari bertemu dan menikah, aku sudah menyiapkan mobil baru untukmu. Maafkan aku, aku terpaksa karena...ya...aku sempat bosan denganmu danㅡ"

"Jeno sudah menikah. Dia milikku."

"Apa? Jeno mengirimiku pesan kami akan bertemu nanti sore."

"Bitch. Ya."

Aku mengumpat. Melepar ponsel Jeno sekuat mungkin. Sampai Jeno memandangiku di ambang pintu dengan wajah pucat takut.

to be continued.

AldebaranWhere stories live. Discover now