🍀empat belas;

10.3K 1.5K 59
                                    

Aku duduk di kursi roda, tersenyum dengan bibir kering memandangi bunga yang ditanam rapi di taman rumah sakit ini. Jeno berlutut di depanku, memainkan jari-jariku yang sedikit membengkak.

"Terlalu bosan?"
Jeno mendongak, memandangku. Aku menunduk dan mengangguk pelan, "pulang..."

Jeno terkekeh pelan. Mengecupi jariku satu per satu, melihatnya aku sejenak teringat perlakuannya kurang dari satu minggu ini. Semua berputar diingatanku, membuat perutku terasa mules.

"Belum waktunya, sayang. Kamu harus tidur di sini dulu. Kita."

Aku agak tersentak merasakan sentuhan tangan hangatnya di kulit pipi, menatapnya dengan heran, aku mengernyit. Jeno mengecup bibirku sekilas, menaruh kepalanya di pahaku.

"Nyanyikan aku,"
Gumamnya. Aku refleks berdehem. Suaraku serak, bibirku kering, malas membuka mulut.

"Tidak bisa,"
Hanya mencicit yang mampu kukeluarkan. Jeno kembali terkekeh.

"Kita harus melepas baby, sayang. Maukah?"
Jeno mendongak. Menusukku dengan kelerengnya tepat pada milikku. Ini obrolan yang kuhindari. Diam-diam aku menggigit pipi dalam, meremas baju rumah sakit kukenakan.

"Tidak. Takkan."
Aku memberi penekanan pada setiap kata. Semoga Jeno mengerti, namun nyatanya tidak. Jeno merengkuh pinggangku dalam posisinya yang masih berlutut, mengecupi perutku yang masih rata, menggumamkan kata maaf yang banyak.

"Tapi kesehatanmu, sayang."
Ia berucap lirih. Membenamkan wajahnya pada perutku. Aku sudah terisak dengan pelan, berharap agar Jeno berhenti membahasnya.

"Maafkan aku, sayang. Aku yang membuatnya seperti ini, aku yang membuatmu seperti ini. Tolong maafkan si bodoh ini,"

Jeno terisak pelan, lebih pelan dibandingku. Mengapa aku se-menyedihkan ini? Aku menggeleng pelan, "dia tetap akan tumbuh di sana, Jeno. Jangan memaksanya, dia tidur di sana."

Jeno mengeratkan rengkuhnya. Aku menghabiskan waktu di taman dengan isakan pelan.

❄❄❄

"Nana takkan! Aku tak bisa memaksanya, tak bisa membahasnya lagi, cukup, aku yakin bayiku tidak mungkin menyakiti Mama-nya!"

Jeno membentak Jaehyun. Itu yang dapat kutangkap dari dalam ruanganku, mereka di luar. Membahas ke-keras kepalaanku akan mempertahankan bayi kami. Aku tetap akan melakukan apapun untuk bayiku, apapun. Aku menutup mata kala Jeno membuka pintu dengan keras, agak menakutkan.

"Nana,"

Aku membuka mata mendengar suara beratnya. Mendudukkan diri dan menyambutnya yang duduk di samping ranjangku.
"Sakit?"
Ia mengambil tanganku untuk digenggam, aku menggeleng pelan sambil menatapinya dengan perasaan kalut.

Menyadari keadaan emosiku, Jeno mengecup pergelangan tanganku, "asal kamu berkata jika merasa sakit untuk sembilan bulan ke depan, berjanji? Kita akan menjaga bayi kita bersama."

Untuk pertama kali setelah hampir seminggu, aku tersenyum lebar. Mengulurkan tangan untuk diberi pelukan. Jeno lekas merengkuhku erat, mengelus punggungku.

"Aku berjanji, Jeno. Sungguh."
Aku berbisik serak di telinganya. Ini kejutan untukku.

Baby, mama akan menjagamu.

Jeno baru akan menciumku saat pintu dibuka dengan lebar. Seorang gadis masuk ke ruanganku dengan wajah merah.

"Siyeon?"

Jeno berucap. Membuat kerongkonganku kering kerontang.

"Apa-apaan, Jeno? Kamu menghilang dari perusahaan setelah hampir seminggu dan sekarang berpelukan dengan orang lain? Hei, aku calon istrimu!"
Gadis di hadapan kami berteriak marah. Untuk kali pertama, aku membutuhkan Jaehyun di sisiku.

Aku agak melirik ke pintu. Bukannya baru saja Jaehyun di sana?
Perhatianku teralihkan ketika Jeno beranjak untuk menahan tubuh gadis tersebut, aku merasa kosong sejenak.

"Aku sudah membatalkannya, Siyeon. Apalagi, hah?!"
Jeno membentak marah. Aku baru melihatnya yang seperti ini.

Gadis itu terkekeh, memandangku dari balik tubuh Jeno, "siapa kamu, ha?! Merebut calon suamiku!"

Jeno mengeraskan rahang. Di belakangnya, aku tersenyum tanpa arti, sebelum Jeno bersuara, aku lebih dulu menyela.

"Apakah seseorang yang meninggalkan calon suaminya karena bosan, mencuri mobil calon suaminya untuk bersenang-senang dengan selingkuhannya, pantas disebut sebagai calon istri?"

Jeno menoleh cepat padaku, menatapku dengan wajah terkejut. Sementara Siyeon, mengangkat dagu untuk menantang.

"Nona, parasmu indah. Tapi tidak dengan etikamu. Mertuaku tentu akan menolakmu mentah."

Aku melirik pintu. Jaehyun datang, membawa penjaga keamanan untuk menyeret gadis lancang yang berurusan denganku.

"Totally canceled."
Jaehyun bergumam ketika Siyeon diseret keluar. Tentu itu untuk Siyeon-tidak-tahu-diri.

Jeno kembali duduk di sampingku setelah merasa blank atas perkataanku.

"Kamu benaran? Artinya kamu menerimaku lagi, kan?"
Jeno bertanya tidak sabaran. Aku harus memulihkan suaraku lagi setelah bicara panjang untuk Siyeon tadi.

"Aku takut sekali kamu akan berkata bahwa kita akan berpisah. Lee Jaemin-ku,"
Jeno mengecupi punggung tanganku. Aku tersenyum kecil menanggapi.

Jaehyun mendekat, memberi senyuman, "jika anak ini nakal lagi, beritahu ayah, akan kuhabisi sekaligus."

Aku terkekeh serak, Jeno mendengus.

"Kasihan sekali mantan calon istrimu, dia berteriak ketika diseret paksa."
Aku bergumam serak. Jeno tersenyum lebar, mengecup tanganku tidak membuatnya bosan.

"Kamu dengar Jaehyun bicara apa? Dia bilang, totally canceled."

Jaehyun tersedak malu-malu. Aku dan Jeno terkekeh bersama.
Doyoung menghadiri beberapa acara penting untuk hari ini, aku merindukannya.

to be continued.

AldebaranUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum