🍀dua;

15.7K 2.2K 192
                                    

Aku terbangun. Cepat sekali sampai rasanya aku melambung dengan sekali duduk di atas ranjang. Pusing.

Bulan menyala di atas sana. Tirai tidak terbuka namun cahayanya kontras, sudah menyadarkanku sepenuhnya. Aku masih di kamar ini. Memutar ingatan tentang beberapa jam belakangan sebelum aku melepas kesadaran.

Memeriksa tubuh, pakaianku tertutup, piyama. Oh siapa yang menggantikannya untukku? Jaket maroon-ku bergantung di tempat khusus. Ranjang ini hanya aku yang mengisi. Si lelaki tu-tidak se-tua itu-tak ada. Entah kemana.

Aku beranjak dari ranjang, mengelilingi kamar yang kelewat besar ini. Di depan televisi besar, ada sofa empuk memanjang. Lelaki itu tidur di sana. Aku menjadi merasa bersalah, tapi, sebenarnya apa yang kupersalahkan? Dia yang menyeretku, menculik, tanpa memberi makan. Kemudian lelucon konyolnya mengatakan untuk menemaninya tidur. Gila?

Ya. Dia atau aku, yang gila.

Selimutnya terjatuh. Aku merapikan, menyelimutinya tanpa ada pemikiran apapun. Murni karena ingin.

"Aku bangun."

Demi Tuhan! Aku terjungkal terkejut, dia ini mengapa, sih?

"Lalu mengapa masih menutup matamu, ha?"
Aku masih dalam posisi duduk. Menatapnya ngeri, ia sudah duduk dan menatapku.

"Maaf soal yang tadi, aku tidak bermaksud-"

"Sudahlah. Kamu tak melakukan apapun padaku, tampaknya."

"Memang tidak."
Dia bergumam saja. Aku mengangguk.

"Mari jelaskan. Mengapa kamu menculikku?"

Matanya membulat, lucu. Sipit, kemudian kau paksakan membola. Pikirkan, sialan, lucu sekali.

"Aku tak bermaksud,"
Dia menghela napas. Aku menunggu.

"Aku ditipu. Mobilku diambil. Sekretarisku, yang katanya akan bertunangan denganku, tapi malah membodohiku. Dan...yah, begitulah. Aku membawamu. Maaf, aku kira kamu bisa dipakai, tapi kamu pingsan, dan...ya sudah."

Aku menatapnya, mencoba mengintimidasi, berhasil. Dia menunduk.

"Na Jaemin. Namamu?"

Dia mendongak, "Lee Jeno, 24 tahun."
Aku tersenyum kecil menatapnya yang juga tersenyum.

Aku mendengus, "aku tak menanyakan berapa usiamu. Yang ingin kutanyakan, bisa kamu mengantarku pulang?"

Demi. Ini pukul tiga malam, aku di dalam kamar hotel bersama seorang lelaki muda yang sukses. Soal sukses-

"Se-kaya apa kamu sampai membutuhkan sekretaris?"

Dia mendelik padaku, "hanya sebagai presiden direktur di perusahaan ayahku."

Ganti aku yang mendelik, "pantas."

Dia melirikku, malu-malu.
"Na Jaemin,"

"Hm."

Aku hanya bergumam. Tidak menatapnya, hanya menunduk menggigit kuku, hobiku.

"Lalu, kamu siapa?"

Keningku berkerut, "bukan siapa-siapa. Aku berhenti kuliah, mereka bercerai, kemudian rumahku dijual, ya sudah, begitu."

Dia menatapiku, aku balas menatap sambil masih menggigiti kuku.
"Hentikan menggigitnya. Kukumu bisa terkoyak, menyakitkan."

Aku mengangkat bahu, masih menggigit, tidak peduli. Dia lengah.

"Tadinya aku ingin memaksamu untuk melakukan itu, tapi kamu pingsan,"
Dia menghela napas. Aku biasa saja. Dia terlalu sopan untuk melakukan pemaksaan.

"Hei, berhenti, terkoyak!"
Tangannya menarik pergelanganku, kemudian suara teriakanku menggema di kamar yang untungnya kedap suara.

❄❄❄

"Tolol sekali. Tidak perlu menariknya, terkoyak karena kamu, tolol!"
Aku tiada henti menunjuki wajahnya yang sedari tadi masam karena merasa bersalah. Aku meringis. Menarik ingusku yang sempat menetes karena menangis sebentar tadi.
Sakit sekali. Mengumpat juga tidak mengurangi sakit tapi aku menyukainya.

Aku merengek. Jari tengahku sudah ditutupi hansaplast, perihnya masih terasa. Jeno masih menatapi jariku dengan gugup.

"Maaf, Jaemin. Aku tak tahu,"

"Masa bodoh!"

Aku meninggalkannya berbaring. Dia mengacak rambutnya, bergumam samar bahwa dirinya tolol. Memang benar.

"Jaemin, menikah denganku sajalah!"

Sekejap, bantal mendarat tepat di wajahnya. Dariku. Aku terkejut. Sekali. Demi Tuhan, dia orang yang aneh!

to be continued.

AldebaranWhere stories live. Discover now