🍀lima belas;

10.4K 1.5K 44
                                    

Di bulan ketiga perutku mulai menyembul, aku tidak tahu harus bagaimana berekspresi. Senang karena anakku tumbuh dengan baik, atau merasa kesal karena tubuhku yang juga semakin menyembul dagingnya. Namun yang mengherankan adalah ketika beberapa waktu perutku sakit dengan sangat, seperti melilit dan ditusuk. Sakit sekali. Hanya sekitar dua puluh menit sampai sakitnya berangsur hilang. Cukup membuatku menghasilkan peluh sebesar biji jagung.

Aku tidak mengatakan apapun perihal sakitku pada Jeno, aku masih bisa menghadapinya sendiri. Masa mengidamku baru-baru ini saja dimulai, rasa mual juga menghantui sampai Jeno kewalahan. Terkadang aku menanggungnya sendiri. Jeno sibuk bekerja memang, namun dia tetap memperhatikan, menjagaku dengan sedikit berlebihan. Ya, sedikit.

Seperti sekarang. Minggu cukup cerah, dengan setelah kaos santainya, Jeno mengepel lantai apartemen kami. Aku hanya dibolehkan untuk memasak sarapan, selain itu, aku duduk. Bosan sekali. Sambil membuatkannya kopi, aku sambil mengelus perut agak membuncitku dengan sayang. Mengucap syukur di dalam hati, bahwa anakku masih berkembang dengan sehat.

Setelah siap, aku membawanya, menaruhnya di atas meja ruang tengah. Kopi tersebut masih mengepul. Aku duduk menyandar pada sofa masih sambil mengelus perutku. Sengaja mengenakan kaos ketat agar perutku tercetak jelas, aku menyukai perutku akhir-akhir ini, entah karena keinginan sendiri atau hormon bawaan si bayi. Aku tersenyum kecil.

Jeno mendudukkan diri di sebelahku, menyesap kopinya dan menghela nafas, "terima kasih, sayang."
Bibirnya mengecup pipiku. Aku mengangguk, masih asyik sendiri dengan si perut.

Jeno merebahkan kepalanya di pahaku, membuatku memindahkan tangan dari perut ke rambutnya, mengelusnya pelan. Jeno menghadap perutku, "baby, tidur?"
Jeno terkikik pelan. Aku terkekeh gemas.

"Jangan menyusahkan mama, hm? Nanti papa sedih."
Jeno merengut, mengecup perutku. Aku masih mengelus rambutnya, sesekali memainkan helainya.
"Mengapa memakai kaos seperti ini lagi?"
Jeno memandangku dari bawah, aku mengangkat bahu.

"Suka saja. Bukankah aku terlihat berisi?"
Aku menunduk, mengusap keningnya dengan lembut. Jeno mengernyit, "benar, sih. Tapi kamu menggodaku,"
Jeno merengek.

Aku mengernyit jijik, "sinting."

"Ssttt, nanti bayi kita mendengar. Tidak sehat untuk telinga kecilnya,"

Aku lekas menutup mulut, lupa jika aku sedang mengandung. Bahaya sekali aku memiliki mulut. Jeno mengusal di perutku, bicara sendiri seakan mengajak bayi kami mengobrol. Aku terkikik pelan menanggapinya.

Kami masih bertahan di posisi seperti ini sampai kopi Jeno mendingin di atas meja.

❄❄❄

"Sayang?"

Aku lekas menutupi tubuhku dengan selimut, baru saja aku mendapatkan sakit yang teramat pada perutku, aku meremas selimut bagian dalam, menggigit pipi dalam untuk menahan ringisan.

"Aku mengganggu? Kamu sudah tidur?"
Jeno mendekat, bergabung bersamaku di dalam selimut.

Dengan terengah aku menggeleng, "tidak- aku belum...tidur."
Jeno mengernyit, menyadariku sepertinya.

Tangannya mengusap keringat di pelipisku, keringat dingin di kulit yang lumayan dingin.
"Kamu demam? Kenapa, sayang?"
Keringat menetes lagi, aku menggeleng pelan.

Jeno mengeraskan rahang. Aku tidak menghiraukannya lagi, sudah sibuk meringkuk merapatkan tubuh di dadanya; terlalu sakit, aku tidak tahan. Jeno mendekapku dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain mencoba menghubungi Jaehyun lewat ponselnya.

"Tunggu sebentar, Mama."
Jeno berujar lirih. Mengecupi kepalaku dengan bisikan kata penenang, aku merasa semuanya buram ketika kesadaranku pun mulai menghilang. Gelap. Aku tidak tahan.

❄❄❄

Aku membuka mata. Masih di kamar kami, aku menarik napas sedalam mungkin. Jeno di ruang tengah bersama kedua mertuaku, membicarakan kondisiku yang tidak terduga. Aku mengelus lembut perutku.

Cklek

Pintu dibuka. Aku melirik pintu. Jeno mendekat dengan tatapan tepat padaku, tubuhnya duduk lemas di lantai, tepat di samping ranjang. Aku menatap pada langit-langit kamar, mataku berkabut sebelum akhirnya air mata menetes satu per satu menuju telingaku.

Jeno mengecupi punggung tanganku, semakin lama aku terisak. Kamar itu hening. Hanya terdengar isakanku dan isakan lirih dari Jeno.

to be continued.

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang