Gadis bersurai cokelat gelap itu tertawa dengan handphone yang melekat pada telinganya. Ia tengah asyik berbincang dengan teman lama yang berlokasi jauh dari tempatnya berada saat ini.
"Pokoknya aku titip cokelat yang banyak, ya!"
Emi tertawa kecil mendengar suara melengking yang terdengar dari telepon genggamnya, "Iya, iya. Nanti aku belikan yang banyak. Tenang saja. Sudah, ya. Aku lagi di jalan. Nanti aku kabarin lagi, bye!" ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.
Emi mengamati sekelilingnya. Bangunan-bangunan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya mampu membuatnya takjub.
Gadis bersepatu boots itu bersyukur. Meski setahun yang lalu ia benci dipaksa untuk belajar, rupanya hal itu membuahkan hasil yang baik bagi masa depannya.
SMA Nusa Bangsa memberikan beasiswa penuh bagi Emi karena nilainya yang memuaskan selama tiga tahun berturut-turut.
Kabar baiknya tidak berhenti sampai situ, beasiswa yang ditawarkan adalah beasiswa untuk suatu universitas di Inggris. Tanpa berpikir dua kali, Emi langsung menerima tawaran tersebut.
Terima kasih, Ma, Pa. Batinnya berkata.
Emi melirik toko baju yang ia lewati. Matanya terbelalak saat melihat dress berwarna merah jambu yang terpajang di depan toko tersebut.
"Bagus banget!" serunya mengagumi. Tanpa berpikir panjang, kakinya berbelok ke arah toko tersebut.
Bugh!
Tubuh mungil milik Emi tidak sengaja menabrak seseorang. Gadis itu meringis pelan dan mengumpat dalam hati.
Aduh! Bodoh banget. Kenapa aku jalan seenaknya saja, sih? Batinnya.
Gadis berkulit sawo matang itu membungkuk, "My apologies,"
"That's okay," balas lelaki yang ditabraknya itu.
Kedua bola mata Emi terbelalak. Tangannya bergetar hebat. Ia tidak mempercayai apa yang ia lihat saat ini.
"Ka-kamu..?" ucapnya terbata-bata.
Lelaki yang bertubrukan dengannya memiliki wajah yang sangat identik dengan Vano.
Gak mungkin. Aku melihat Vano meninggal di hadapanku. Bagaimana mungkin? Pikir Emi dalam hatinya.
Lelaki berjas itu mengernyitkan dahinya, "Sorry. I really need to go," ucapnya kemudian pergi meninggalkan Emi yang diam terpaku di tempat.
"Wait!" seru Emi, berusaha untuk mencegat lelaki tersebut.
Gadis berambut panjang itu menatap ke bawah. Sebuah kartu tanda pengenal terinjak oleh sepatunya.
Emi segera mengambil kartu tersebut dan mencari nama sang pemilik. Dahinya mengerut otomatis setelah membaca nama sang pemilik kartu.
"Alvano Dainin?"
YOU ARE READING
Complementary
Teen Fiction"Lebih baik aku mati." - Emilia Andini "Kenapa untuk bertahan hidup saja rasanya sangat sulit?" - Elvano Dainin. Memiliki harapan yang bertentangan, tetapi dipertemukan. Pertemuan mereka bukanlah suatu konflik. Mereka justru akan menjadi pelengkap u...
