Rasa yang Terlupakan

45 7 4
                                    

Bulan malam ini cerah. Langitnya tanpa bintang, tetapi ada rembulan yang mengintip di sela-sela awan hitam. Di malam Minggu, sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa kami akan bermain. Sebenarnya hari-hari lain juga seperti itu, hanya saja, jika malam Minggu mainnya bisa sedikit lebih lama. Soalnya besoknya libur.

Kami sudah menentukan akan bermain petak umpet, lalu petak jongkok, lantas menjurus ke duduk-duduk santai sembari bercerita. Terkadang di lain waktu, kami akan bermain guru-guruan dengan teman yang lebih tua menjadi gurunya. Sebelum berucap, "Dadah. Besok main lagi, ya? Jangan lupa." Kemudian teman yang lain akan mengangguk, dan semuanya menghilang di balik gapura griyanya masing-masing.

Pakaianku sudah bersimbah keringat ketika membuka pintu dan mendapati ruang keluarga kosong. Pasti di kamar, batinku sembari melengos dan menutup pintu. Kebiasaan selalu ditinggal terus.

Namun begitu melihat ke kanan bagian atas, jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

Aku menyeringai. Ternyata memang sudah malam. Berarti memang tidak ada alasan untuk memprotes pada Kak Rachel dan ibu.

Usai berganti baju dan memasukkannya ke mesin cuci, kubuka pintu kamar. Desiran air conditioner menerpa wajahku yang masih meninggalkan jejak-jejak basuhan air. Rasanya sangat dingin. Sungguh hawa yang berbanding terbalik dengan keadaan panasku usai bemain tadi.

"Malam terus pulangnya. Inget waktu, dong!" Kak Rachel memprotes seperti biasa, dan sifat bandalku memutar bola mata. Kak Rachel melotot. "Tuh, Bu! Masa dia kayak gitu ke aku. Enggak sopan banget."

Lantas ibu akan bilang agar aku tidak boleh begitu karena Kak Rachel adalah orang yang lebih tua. Tetapi karena kemalasanku untuk mendengarnya lebih jauh dan hanya bilang iya saja sebelum tidur, sebelum kusadari, dunia berubah menjadi gelap lebih cepat dari yang kuduga.

***

"Dasar kamu tuh ya!" Teriakan seseorang yang familiar, teriakan ibu, memecah rasa kantukku malam itu. Suaranya yang menggelegar—lebih parah daripada aku menjatuhkan sepeda motor ayah yang menyebabkan kacanya pecah semua—terdengar menakutkan. Dan dalam rasa takut itu, kucari ibu, kemudian menemukannya berdiri berhadapan dengan ayah, juga ada Bude Lisa di sana. "Ternyata selama ini kalian begitu? Main-main di belakangku? Begitu? Mentang-mentang aku kerja terus, kalian seenaknya! Apaan itu fotonya? Kenapa ada foto kamu di handphone dia?! Dasar jalang!"

"Cukup! Kamu diem ya? Jangan sekali-sekali kamu menghina dia," Sekarang suara ayah. Raut wajahnya merah padam. Ayah terlihat menakutkan.

"Noh, kan! Baru ini kamu membela dia!" Ibu menunjuk ayah. Mereka terlihat menakutkan. "Sejak kapan kalian begini, hah? Sejak kapan? Ayo jawab sejak kapan? Eh kamu diem saja ya, Dasar Jalang—"

"GITA!"

"APA?! Kamu enggak berhak melarang aku buat bicara!"

"Cukup!" Aku berteriak. Lebih kencang dari yang kukira, lebih berani dari yang kukira, dan lebih sakit daripada yang kukira.

Batu bata terhimpit di dadaku. Rasanya kesulitan bernapas. Rasanya ada yang pecah berkeping-keping dan aku berusaha menyatukannya kembali. Rasanya seperti—

"Lihat! Itu anak kamu! Ersa masih kecil dan kamu selingkuh? Ayah macam apa kamu!"

PLAK!

Tangan ayah melayang, menyentuh pipi ibu dengan keras. Terlampau keras, hingga aksi jambak-menjambak, pukul memukul, dan melerai berlangsung begitu cepat dan terlihat abstrak di mataku.

Kak Rachel memelukku, berusaha meredam semua teriakan itu, berusaha menutupi apa yang sedang terjadi, tetapi sayangnya aku sudah melihatnya. Aku sudah melihatnya, betapa mudahnya Tuhan membalikkan keadaanku hanya kurang dari dua jam. Aku sudah melihatnya, segalanya, Kak Rachel.

Me and The Forgotten OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang