Lima Ratus Keping

254 19 28
                                    

"Lho, ini?"

Aku menunduk, menatap sebuah kotak polos besar buatan tangan berwarna cokelat usang yang barusan tertendang. Ketika kuangkat dan mengelap debu yang menempel dengan jari, terbaca tulisan jelek khas anak kecil. 500 keping puzzle. Entah kenapa, setelah membacanya hatiku tertegun.

"Sudah berapa lama, ya."

Mengabaikan pesan Mama yang menyuruhku untuk memilah-milah barang di gudang belakang rumah mendiang Kakek, aku justru mendorong kembali pintu gudang yang tua dan beranjak memasuki rumah.

Meski kosong, posisi semua perabotan masih seperti dulu. Namun, rumah ini akan diruntuhkan dalam waktu dekat, makanya aku disuruh untuk ke sini, padahal kebetulan hari libur.

Entah sudah berapa tahun aku tidak ke desa ini. Sudah banyak yang berubah.

"Oke, ini dia." Setelah menyingkirkan benda-benda dari meja makan jati, aku meletakkan kotak puzzle yang tadi kuletakkan di lantai ke atas meja. Membuka penutupnya pelan-pelan, hanya untuk menemukan tumpukan potongan-potongan kecil.

Otomatis, senyum terkembang di bibir. Masih teringat di kepala betapa aku begitu terobsesi pada permainan teka-teki ini. Menyusun potongan-potongan kecil yang saling sambung-menyambung, sampai akhirnya membentuk sebuah gambar yang bermakna.

Puzzle pertamaku saja dulu bisa kuselesaikan dengan mata tertutup, saking kususun dan mainkan setiap hari.

Menumpahkan kepingan-kepingan puzzle ke meja, keningku mengernyit saat tak menemukan satupun tanda-tanda keberadaan contoh gambar utuh dari puzzle ini. Bagaimana aku bisa menyusunnya tanpa contoh?

"Duh." Aku ingat puzzle ini. Meskipun samar-samar dalam ingatan. Dulu, sebagai hadiah ulang tahun, Kakek menghadiahiku ini. Kalau tidak salah, ini adalah foto. Masalahnya, aku sama sekali lupa dengan foto apa yang puzzle ini bentuk, dan bagaimana aku menyelesaikan lima ratus keping puzzle ini. Tak mungkin Kakek dan Nenek menolongku, tetapi melakukannya sendiri di umur tujuh tahun lebih tidak mungkin lagi.

Kutatap kepingan-kepingan di atas meja lamat-lamat. Coba dulu saja. Aku kan master puzzle waktu kecil. Sebaiknya, aku mulai dari bagian yang mudah ditebak.

Sambil membulatkan niat, aku pun bertekad menyelesaikan puzzle hari ini. Sekarang masih pagi. Semoga sore nanti sudah selesai.

Suara kicauan burung gereja di luar jendela seolah menyemangatiku. Rasanya sudah setengah jam aku berkutat dengan kepingan puzzle. Beberapa bagian pinggir sudah terisi sedikit-sedikit dengan acak, sedangkan bagian yang kuramal merupakan bagian tengah dari puzzle juga sedikit demi sedikit mulai terbentuk.

"Ini ... aku?" Memang belum lengkap, tetapi saat aku memasang potongan terakhir yang menyempurnakan wajah yang terbentuk, aku menyadari bahwa anak perempuan bergigi ompong ini tak lain dan tak bukan adalah aku sendiri. "Foto lalu lihatkan ke Mama, ah."

Setelah menjepret beberapa kali, aku mengantongi ponsel kembali dan berkacak pinggang. Memandangi meja yang penuh dengan kepingan acak.

Ada aku di foto ini. Dan kalau tidak salah lihat, sepertinya aku bukan satu-satunya sosok di foto ini.

Lagi, aku mengernyit. Gagal mengulang kembali memori pada masa itu. Apa mungkin ini foto keluarga, ya?

Sadar bahwa menerka-nerka tidak akan membawa apa pun, aku melanjutkan kegiatanku. Memutar otak sambil menemukan sambungan dari tiap keping yang ada. Suara burung gereja makin nyaring, menemani senandung yang melantun dari bibir.

***

"Karina, sini. Katanya mau lihat kembang tujuh rupa itu seperti apa." Anak lelaki itu mengayunkan tangan. "Ayo cepat, nanti bibiku keburu pakai."

Me and The Forgotten OneWhere stories live. Discover now