Teman, bolehkah aku merindu?

70 12 9
                                    

"Kal, kita sahabatan terus sampai tua, ya!"

Saat itu, kepalaku terangguk semangat menanggapi ucapan si gadis dengan gigi gingsul manis.

Setelah bertahun-tahun menyendiri, dua orang perempuan berparas cantik mau mengulurkan tangan, membantuku keluar dari ketakutan juga luka jejak orang-orang di masa lalu. Namanya Irma dan Laura. Dua-duanya sama cerewet, meski Irma lebih dominan. Mereka pun bersuara merdu. Jika Irma akrab disama-samakan dengan Fatin, suara Laura tak kalah lembut dari Sulis. Mereka tampak sempurna, bukan? Seharusnya aku memang tidak pernah memulai sesuatu yang nyata pembedanya, tinggi pula sekatnya.

Irma

Selamat ulang tahun, Kalisa. Walaupun kita enggak lagi dekat, tapi aku enggak pernah lupa hari di mana jatah hidupmu berkurang.

Sejujurnya, yang membuatku terluka bukan kenyataan bahwa jatah hidupku berkurang, melainkan kalimat kita tak lagi dekat. Kontras dengan apa yang dia katakan dulu. Suka atau tidak aku memang harus mengakui bahwa itu benar adanya. Jarak yang membentang luas di antara aku dan mereka membuat kami jarang berkomunikasi padahal akhirnya. Mereka sibuk dengan kuliah masing-masing, sementara aku tenggelam dalam keraguan.

Hubunganku dengan Laura tetap baik, meski intensitas komunikasi kami tak serapat saat masa sekolah. Sungkan rasanya memulai lebih dulu, terlebih mereka sedang sibuk berjuang meraih gelar sarjana. Pada beberapa kesempatan, keduanya sering mengunggah foto bersama teman-teman baru yang kurasa lebih segalanya dibanding aku. Sulit, karena aku hanya menjadi redup di tengah-tengah gemerlap mereka.

Aku merindukan banyak hal. Hari di mana kami bisa tertawa lepas hanya karena semangkuk bakso seharga delapan ribu. Mendengarkan lagu One Direction, hingga telinga panas karena Irma juga terus mengoceh tentang Zayn Malik dan si bungsu Harry. Laura yang menggila karena sosok Louis, dan aku yang tak bisa lepas dari mata indah Niall atau pesona Liam. Makan mie instan di kantin sekolah sesaat sebelum praktikum. Menggunting etiket dan label. Mengenakan jas putih panjang kebesaran untuk berfoto. Menyanyi di setiap kesempatan. Saat kelas kosong contohnya.

"Kal, siap jaga lilin. Nanti Laura yang keliling."

Lelucon itu jauh lebih aku rindukan dibanding pesan yang Irma kirim beberapa saat lalu. Irma yang tertawa puas dan Laura mengomel dengan wajah kusut karena hidung minimalisnya selalu jadi sasaran kejahilan Irma. Obrolan sederhana dengan topik acak yang membuat kami sulit saling melepas saat bertemu, nyatanya paling aku butuhkan dibanding pembicaraan orang dewasa yang membosankan juga penuh kecanggungan.

"Wah, Megi mendem. Butuh kembang tujuh rupa buat sesajen."

Teriakkan Widi setiap kali orang yang dipanggil Megi tidur hingga mendengkur bisa membuat seisi kelas terpingkal, tak terkecuali aku, Irma, dan Laura.

Kami tertawa untuk sesuatu yang sederhana. Bahagia karena hal-hal kecil. Andai menangis pun, saling rengkuh, menenangkan satu sama lain. Yang paling penting, hari itu aku merasa diterima dan benar-benar memiliki teman.

Sekarang, semua tak lagi ada. Mereka bahagia dan tampak mentereng dengan gelar yang disandang. Lebih menyukai tempat-tempat mewah dibanding bakso di kaki lima yang menjadi favorit kami sebelumnya. Mereka telah bersinar dengan sendirinya, sementara aku masih meraba-raba mencari saklar lampu untuk penerangan.

Media sosial memanjaku dengan memberi banyak teman, tetapi aku tetap merasa kosong karena pada kenyataannya aku membutuhkan pelukan saat tengah begitu dekat dengan keterpurukan. Uluran tangan, tatkala tubuhku menggantung di ambang jurang keputusasaan. Juga penyelamat ketika aku sengaja melangkah lebih dekat pada kematian. Bukan putus asa sendirian.

Teman, bolehkah aku merindu? Aku ingin berada di tengah-tengah kalian bukan sekadar saat dibutuhkan, tetapi memang karena punya tempat. Mereka tak perlu kembali untuk membuat kami berjalan beriringan, cukup memelankan langkah, menungguku yang berjalan terseok di belakang. Tak usah pula menjadi mereka yang dulu, cukup dengan tidak berubah terlalu banyak.

"Kal, kok bengong?"

Aku terkesiap saat tiba-tiba Kak Tania muncul membawa kue kecil dengan lilin selaras. "Kakak ngapain?"

"Selamat ulang tahun, Sayang."

Mungkin dia berniat mengejutkanku, tetapi karena aku kedapatan sedang menangis, Kak Tania mengurungkan niatnya. "Makasih banyak, Kak. Padahal enggak usah repot-repot. Udah tua juga. Kan malu," kataku. Padahal, bukan itu alasannya. Apa yang Kak Tania lakukan sekarang, mengingatkanku pada Irma juga Laura. Biasanya mereka yang memberikan kejutan sederhana. Terkadang, saat benar-benar tidak punya uang, mereka hanya memanfaatkan donat madu dengan lilin besar di tengah.

"Ada yang ganggu pikiran kamu?" Dia bertanya.

"Cuma ingat teman SMA aku, Kak."

"Wah, teman SMA. Masih komunikasi? Berarti kalian berteman cukup lama. Pasti sangat dekat."

Aku bahkan kehilangan kata untuk menjawab. Sebagian benar, tetapi lainnya tidak. Kami memang berteman lama, sayangnya tidak semakin dekat. "Kak, kalau Kakak diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, Kakak ingin kembali saat-saat bagaimana?"

Dia tersenyum dengan sorot menerawang. "Mungkin bayi?"

"Kenapa?"

"Bayi memang merepotkan, tapi dia tidak pernah merasa merepotkan. Bayi menangis sepuasnya karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Dia terbiasa memendam semuanya karena memang tidak bisa bicara, bukan dipaksa atau terpaksa untuk tidak bicara. Dia bisa dengan egois mendapatkan apa pun tanpa takut ada yang perasaannya dicederai. Setidaknya, menjadi bayi tidak dibebani berbagai pikiran rumit orang dewasa."

Dengan segera aku mengerti arah pembicaraan perempuan itu. Pasti tidak mudah menjadi perempuan yang sudah berkeluarga.

"Kalau kamu?"

Kepalaku tertoleh ke arahnya, lalu menjawab, "Aku ingin kembali ke masa di mana aku benar-benar merasa diterima."

"Diterima dalam apa?"

"Dalam sebuah pertemanan," sahutku.

"Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Pikiran buruk itu sedang mempermainkan kamu sekarang. Semua belum tentu seburuk yang kamu pikirkan. Boleh jadi, hanya kamu yang berpikir bahwa kamu tidak lagi diterima, padahal mereka masih membuka pintu selebar-lebarnya untuk kamu kembali. Dalam sebuah pertemanan, masalah pasti selalu ada. Tapi, tidak ada yang tidak bisa diperbaiki."

"Tapi, apa bisa semua kembali seperti dulu?"

"Kalaupun tidak bisa kembali seperti dulu, paling tidak kamu mengingatkan mereka tentang semua yang pernah kalian lalui sebelumnya."

Kak Tania benar. Aku hanya harus mencoba berani bicara. Tentang rinduku, kisah lama, juga tentang pembeda dan sekat di antara kami. Sesederhana itu. Kalaupun pada akhirnya aku tetap ditinggalkan, paling tidak aku pernah mencoba memperjuangkan sebuah pertemanan. Bukan mereka yang salah seandainya memilih pergi. Aku yang kesulitan mengimbangi keduanya. Jangankan untuk sejajar, memangkas jarak kami yang terpaut jauh saja sulit. Mereka di depan, dan aku tertinggal jauh di belakang. Aku yang bersalah karena seharusnya dulu tidak perlu membuka hati, menerima pertemanan, percaya, untuk kemudian kembali ditinggalkan. Tidak ada pilihan lain selain memperjuangkan atau merelakan.

Selesai

Me and The Forgotten OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang