Yang Telah Pergi

100 7 17
                                    

"Perhatian, Perhatian, para penumpang pesawat udara Batrix Air dengan nomor penerbangan BA201 tujuan Makassar, dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu nomor satu. Terima kasih."

Kutarik secarik kertas kusut dari kantong celana, mengamati sebaris kalimat di sana, sebelum melipatnya menjadi empat bagian. Suara wanita dalam bahasa asing lanjut menggema, mengkomando orang-orang untuk bangkit berdiri dan menyiapkan barang-barang mereka, bagai seruan serdadu pada bawahannya yang penurut.

Aku menjadi salah satu bawahan penurut itu, menarik koper kecilku mengikuti arus manusia yang bermuara pada satu pintu dengan papan penanda angka satu. Hari ini bukan hari libur tapi antrian penuh sesak, tak jarang mereka saling menyerobot segencar sedang berlomba mengejar hadiah emas di depan.

Kuserahkan tiket pada wanita berseragam merah yang berjaga di ambang pintu. Dia menyobeknya sebagian dan menyisakan bagian lain untukku.

Kutatap tiket yang dihiasi cetakan garis-garis halus. Makassar. Rasanya sudah lama sekali.

"Tujuan Makassar lewat sini, Bu," pandu pemuda berseragam biru muda ke arah lorong garbarata di sebelah kiriku.

Orang-orang berjalan melewatiku, diiringi suara roda-roda menghantam lantai keramik. Deru pesawat mendengung di sepanjang lorong. Senyap menghampiri sebentar, dilanjutkan bisikan-bisikan samar dalam berbagai logat.

Keramaian ini terasa menenangkan.

Setenang langit biru cerah di luar. Terbentang tanpa ujung, dengan sebaran selimut-selimut putih sehalus kapas. Membawa kapas-kapas pikiran para hati kelabu keluar dari laci penyimpanan ingatan.

Pemuda berseragam biru kembali memanggilku. Antrian panjang di lorong garbarata sudah tidak terlihat. Kuanggukan kepala sebagai jawaban, lalu berjalan menuju pintu pesawat.

***

Kalau disuruh mendaftar hal-hal yang kusukai waktu kecil, mungkin akan sepanjang satu seri buku Harry Potter. Aku suka kotak pensil karakter Pucca dan Garu yang kubeli seharga uang jajan seminggu waktu SD, suka kepingan batu karang berbentuk aneh yang kutemukan tertimbun pasir pantai, juga buku-buku diary bergambar animasi lucu yang di dalamnya kuisi dua atau tiga halaman pertama.

Lebih dari semuanya, aku paling suka mahkluk empuk, berbulu lembut, tampilan lucu, dan hangat waktu dipeluk. Berwarna cokelat, hidung bulat, dan dua telinga menjulur ke bawah..

Sesuatu berwarna biru menghalangi pandanganku. Suara kunci diputar, diikuti engsel pintu berderit. Grasak-grusuk beberapa saat, derit engsel lagi, dan diakhiri suara gemerincing logam.

Penghuni lemari kaca berbingkai kayu bertambah satu. Boneka Mini Mouse celemek kotak-kotak merah berada di tengah-tengah, dihimpit boneka anjing cokelat berdasi kupu-kupu dan Po Teletubies.

Wanita tua yang kupanggil Nenek, tertatih menuju kursi goyang. Membiarkan punggungnya mendarat pada bantalan bunga lalu memejamkan mata, menikmati ayunan kursi goyang. Suara 'tuk tuk' terdengar tiap kaki depannya menyentuh lantai.

Lampu di atas kepalaku menyala. Kurasakan adrenalin dalam tubuhku naik, dan bergegas menuju meja makan di bawah tangga.

Seseorang telah lebih dulu berada di sana, menangkupkan tangan di atas meja, depan lilin putih yang diwadahi piring besi berkarat. Meniup api kecil pada puncak lilin sampai warna merahnya lenyap, menyisakan kepulan asap mengudara.

"Kok dimatiin sih, Adek padahal sudah jaga lilin dari tadi. Kakak malah main tiup." Kupandangi lilin putih yang sudah mati dan memegang puncaknya. Menarik jari ketika tersengat panas pada ujung lilin.

Me and The Forgotten OneWhere stories live. Discover now