tigapuluhsatu.

3.5K 548 59
                                    

"Gimana? Ketemu nggak?"

Angkasa melangkahkan kakinya lunglai, melewati Bunda begitu saja dan tidak menjawab pertanyaan Cakra. Dia terlalu lelah, perjalanan hampir satu hari dan parahnya dia hanya bisa tidur kurang lebih lima jam lamanya. Sisanya? Sadar sepenuhnya karena pikiran yang tidak kunjung tenang akibat Jeara.

Angkasa banyak merutuki dirinya sendiri karena dia memilih menyerah disaat dia bisa berjuang. Tapi mau bagaimana lagi? Angkasa sudah memilih dan dia tidak bisa mengubahnya. Dia hanya perlu menunggu waktu dimana Jeara menemuinya dan mengembalikan gelang yang dia berikan serta memberinya jawaban atas kisah mereka.

Angkasa tidak banyak berharap. Dia sudah menduga kalau hubungannya dengan Jeara tidak akan pernah bisa kembali karena kepercayaan Jeara telah Ia rusak dan sulit untuk membuat Jeara percaya lagi padanya. Rasa cinta yang mereka punya tidak cukup untuk membangun kembali rasa percaya. Angkasa tau itu.

Maka jika nanti dugaannya benar, Angkasa tidak boleh kecewa. Apapun keputusan Jeara harus Angkasa terima. Termasuk jika itu berarti mereka berakhir tanpa harapan untuk kembali.

"Kayaknya anaknya lagi galau tuh, Bun. Pulang-pulang bukannya nyapa atau apa, langsung pergi gitu aja."

"Loh iya? Adek kenapa galau? Gagal ya sama Jeara?"

Mau tau apa kata yang bisa bikin Angkasa ke-trigger dan bisa tiba-tiba berubah jadi anak penurut? Panggilan adek dari Bunda. Dijamin, mau gimanapun kondisi hati Angkasa saat itu, kalau Bunda udah bilang pakai embel-embel 'adek' Angkasa bisa langsung luluh seketika.

Buktinya, dia berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Berbalik dan kembali menghampiri Bunda dan Cakra yang kini hanya melihatnya seraya tertawa pelan.

"Mau cerita?" Tanya Bunda.

"Iya. Banyak." Jawab Angkasa. "Tapi Asa mau minta maaf dulu sama Bunda."

"Buat?"

"Kegagalan Asa jagain Jeara."

Bunda tersenyum hangat. "Bunda sebenarnya marah banget lho sama kamu, Sa. Karena kamu sendiri yang janji sama Bunda, kamu juga yang ingkar. Tapi ya udah, mungkin ini salah satu proses kamu buat jadi orang yang lebih dewasa ya. Jangan ulangi kesalahan kamu lagi, belajar dari apa yang udah terjadi sama kamu ya, Angkasa. Bunda percaya kamu bisa berubah."

"Bunda ngomong kayak gitu makin bikin Angkasa merasa bersalah." Katanya. Angkasa menghela napas panjang. Mengusap wajahnya kasar dan tersenyum tipis. "Angkasa kayaknya udah gagal, Bun. Jeara nggak mungkin bisa sama Angkasa lagi karena Angkasa baru ingat, Jeara benci orang yang ingkar janji."

"Kamu yakin banget emangnya?" Tanya Bunda.

"Iya, Bun." Jawab Angkasa.

"Ya udah, belajar rela dari sekarang. Apa mau nyicil cari pacar baru lagi? Gue ada banyak kenalan nih. Mau yang darima─Bunda ih!" Ucapan Cakra terpotong ketika Bunda melempar bantal sofa ke arahnya. Memberi isyarat untuk diam.

"Aa' gimana sih adiknya lagi galau gini malah disuruh cari pacar baru. Kamu tuh sana cari tanggal buat lamaran! Udah pacaran empat tahun kok nggak ngelamar-lamar. Diambil orang Bunda nggak tanggung jawab ya!" Cerca Bunda. Angkasa tertawa meledek, sementara Cakra hanya bisa diam dan sesekali menatap Angkasa tajam. Memberinya peringatan lewat gerakan mulut yang hanya membuat Angkasa semakin keras tertawa.

Hari itu setidaknya kegundahan hati Angkasa lumayan berkurang. Kehangatan keluarganya disaat menunggu Ayah pulang adalah salah satu obat bagi Angkasa untuk melepas beban hidupnya. Banyak yang dia ceritakan pada Bunda, Ayah, dan Cakra. Cerita tentang Jogja dan semua beban serta kenangan di dalamnya.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang