satu - awal

259 80 226
                                    

awal

Benarkah itu?

"Jalanilah hidup dari sudut pandang anak kecil,
Dan kau akan melihat dunia dengan segala keajaibannya."

Tapi...

Aku nggak ingat pernah melihat keajaiban apa pun saat aku kecil.

Rasa sakit di hatiku...

Dimulai sejak saat itu...

Sejak ada kalimat yang muncul dari seorang manusia, katanya, "Anak pertamamu pintar sekali! Dibandingkan adiknya yang selalu main-main musik terus, bukan? Tidak membanggakan, dia hanya aib bagi keluargamu."

Dulunya Mama dan Papa sangat mendukungku, dulu mereka berkata kalau aku harus hidup sesuai mimpiku. Tapi tiba-tiba semua berubah seiring waktu hanya karena kalimat yang membandingkanku dengan Kakak.

Lalu setiap harinya mereka selalu berkata, "Masa tiap hari kerjaannya musik,musik,musik, terus. Mama nggak pernah lihat kamu belajar lho."

"Kamu harus belajar sungguh-sungguh. Papa khawatir kamu yang menyesal sendiri nanti."

‘‘Coba kamu lihat kakak mu. Belajarnya rajin, nggak pernah ini-itu—”

Dan, mulailah mereka bermain "Mari membandingkan Adik dan Kakak."

Jadi, aku hanya bisa tersenyum, memutar mataku dengan jengkel, dan memandang ke arah lain seolah tak mendengar apa-apa. Sudah biasa dibandingkan seperti ini.

Kakak Inaruh sangat berbeda jauh dari Inaruh sendiri. Kakaknya terlahir pandai, apalagi di bidang Matematika dan Ekonomi bisa dibilang kakaknya nomer satu di bumi. Kakaknya sekarang mengambil jurusan bisnis karena ia sangat pandai Ekonomi, Inaruh yakin Kakaknya kelak akan mendirikan perusahaan sendiri.

‘‘Jangan kerjanya baca komik, novel, komik, novel terus. Jangan kerjanya cuma main musik terus. Belajar seperti kakakmu.’’

Tetapi, mengapa, ya, telinga tetap panas?

Rasa-rasanya, aku ingin berdiri dan menjawab, ‘‘Coba, Ma, Pa, jangan bandingkan aku sama kakak terus. Bandingkan aku sama remaja lainnya. Mereka lebih parah dari aku. Ada yang merokok. Ada yang pakai narkoba. Ada yang pacaran. Ada yang hamil. Ada yang dikeluarkan dari sekolah. Aku ngapain, sih? Aku cuma main musik dan itu nggak aneh-aneh. Bukankah keren kalau aku menghasilkan karya yang bagus dan terkenal?”

Mana mungkin aku melakukan ini?
Aku pasti akan dibilang anak kurang ajar.
Orangtua selalu benar dan aku selalu salah.

Tetapi, aku ingin orangtuaku tahu...
‘‘Dan, Ma, Pa, aku nggak pernah menjadi gila karena main musik. Aku tahu batasanku. Aku menyanyi karena motivasi supaya lebih semangat. Pegang gitar sama piano aja jarang banget gara-gara belajar Akutansi. Lalu, Mama dan Papa harus tahu, selama ini aku butuh kalian, tetapi kalian nggak pernah ada. Jangan salahin aku, aku cuma butuh perhatian.”

Namun, percuma. Orangtua selalu benar, dan aku selalu salah. Jadi, aku hanya bisa diam.

Setelah itu Mama dan Papa memberi beberapa wejangan: tentang pentingnya pendidikan, keharusan menuntut ilmu setinggi-tingginya, dan tentang tidak bermanfaatnya musik. Telingaku muak mendengar nada-nada tinggi mereka. Disaat seperti ini, aku merindukan suara lembut pianoku, suara tenang gitar akustik, yang selalu bisa menenangkanku.

Inaruh segera beranjak pergi ke kamar, menutup pintu secara pelan-pelan. Tetapi, ia biarkan sedikit celah yang membuka, mengambil ukulele dan duduk selonjoran, mengintip diskusi kedua orangtuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wasted Dream [BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang