10. 𝑭𝒊𝒓𝒔𝒕 𝑳𝒐𝒗𝒆

1.2K 232 13
                                    

Jimin

Café selatan kampus memberi Jimin efek merinding. Pasalnya ia sudah jarang keluar di jam selain kelas. Empat bangku terisi oleh kumpulan mahasiswa dengan almamater serupa dengannya. Cuma ia malas untuk bertegur sapa. Tenaganya dikuras habis untuk menangis. Meraungi kepahitan atas apa yang sudah digariskan harus ia jalani. Entah apa yang bakal menemuinya di kemudian hari. Musibah apa yang bakal ia terima di masa depan. Masih getir ia rasa kalimat Jeongguk menyapa pendengarannya yang polos. Seluruh harapan yang sudah disusun dari awal, diruntuhkan tanpa ampun. Tidak ada yang bisa menyelamatkan Jimin dari jurang kesedihan.

Kantung matanya menghitam, tanda bahwa ia sudah lebih jarang menyisihkan waktu untuk tidur. Berkutat lebih banyak dengan buku-buku tugas sebagai peralihan. Ia mati-matian mengalihkan diri dari bisik-bisik suara berat pemuda yang ada di belahan angkasa berbeda. Memanggilnya dalam rintih dan Jimin ngilu, mematahkan batinnya sendiri.

Tidak ada yang bisa ia lakukan ketika Jeongguk bahkan tidak bisa ia genggam. Ia bahkan gagal melihat bagaimana sosok yang bakal menemaninya di sisa keabadian. Bagaimana ia yang penuh dengan canda selalu menemani dan bagaimana Jimin sangat sulit untuk menerima kenyataan kalau Jeongguk tidak akan pernah bisa ia gapai.

"Min." Suara berat orang lain mengaburkan lamunan Jimin. Ia selalu berkilah kalau tidak akan ada orang yang menyadari bahwa ia sedang ada di masa tertekan. Tidak akan pernah ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik. "Sudah tiga puluh menit dan makanan kamu masih utuh."

Jimin seperti ditampar udara kosong. Bagaimana bisa ia membiarkan, bahkan YoonGi, sampai mengingatkan bahwa ia bukan Jimin yang biasanya. "Maaf, maaf. Aku kepikiran soal tugas minggu depat yang belum sempat aku selesaikan." Jemarinya pelan-pelan memotong omellete yang dipesan.

"Soal soulmatemu?" YoonGi bersandar ke punggung kursi café. Mencoba meminimalisir suaranya supaya cuma Jimin yang bisa dengar.

"Maksudnya?" Jimin bersikukuh untuk berkilah. Menatap makanan seakan ia begitu menikmati setiap sendok yang dihasilkan. Melahapnya enak berparas seperti orang lapar yang sedang makan pada umumnya.

"Kamu tahu, aku tidak bisa dibohongi. Aku tahu seluk beluk kamu yang tidak pernah orang lain tahu."

Jimin merasa tersudutkan. "Bukan apa-apa, kok, kak. Aku cuma sedikit tidak nafsu makan."

"Karena kamu kepikiran sesuatu."

"Mungkin." Jimin menjeda. "Mahasiswa yang memikirkan kesehatan mental orang lain memang kadang seperti itu, Yoon. Tidak perlu sampai heran begitu."

"Jeongguk tidak ada di Korea Selatan."

Jimin tersedak. Mencoba mengambil air mineral yang ada di meja dan tidak sengaja justru membuat gelasnya menjauh. Kaca itu berpencar kala menghantam lantai. "Seriously. I'm not in the mood for talking to you right now, Min YoonGi."

"Kamu butuh membicarakan ini dengan orang lain, Jim. Mau sampai kapan bersembunyi di balik tirai 'baik-baik saja'?"

"Aku cuma belum siap."

"Soal apa? Kamu takut aku justru memperkeruh suasana?"

"Aku takut pada kenyataan itu sendiri, Yoon. Bisa, kan, kamu menempatkan diri di atas kakiku? Bagaimana rasanya ketika orang yang digariskan dengan kamu justru ada di antah berantah. Di planet yang namanya saja susah aku ingat. Kamu tidak pernah tahu betapa aku sangat membenci diriku sendiri waktu Jeongguk mengajakku berbicara dan aku diam saja. Aku tidak mau menambah derita yang sudah aku gali sendiri, Yoon. Menyakitkan. Menyedihkan." Jimin jatuh dalam air matanya. Menangkup wajahnya seperti itu adalah sebuah hal yang memalukan.

YoonGi buru-buru memanggil salah seorang pelayan yang tidak sengaja lewat. Membereskan kekacauan yang Jimin perbuat. Menit setelahnya, ia harus mendekap Jimin. Membuat pemuda itu merasakan kenyamanan dan kehangat terlebih dahulu. "Aku di sini. Aku janji tidak akan kemana-mana."

"Jangan bercanda." Jimin berkilah. Berbisik ringan sambil bilang, "Kamu bahkan menghilang dulu."

YoonGi tidak bisa memberi sanggahan. Itu memang hal yang pernah ia lakukan dulu ketika mereka masih ada di masa hubungan dengan rasa yang serupa. Ketika semuanya masih Jimin dan YoonGi, sebelum YoonGi harus pergi dengan satu cita-cita yang ia bawa di atas pundaknya.

"Aku baik. Bisa tolong lepaskan? Aku bakal ceritakan." Jimin menata kembali posisi duduknya yang sedikit tidak nyaman dengan YoonGi yang kembali ke tempat semula. "Jeongguk bukan hanya tidak ada di Korea Selatan, Yoon."

"Kamu bilang tadi, kalau dia ada di tempat lain."

"Di planet lain."

YoonGi terkejut. Manik matanya melebar tapi tetap ada di posisi duduk semula. Tidak ingin membuat Jimin merasa kalau ia tengah membicarakan suatu hal yang tabu.

"Dia ada di J1407b and I don't even know where the fuck it is? Planet mana yang punya nama seperti itu di susunan tata surya kita? Aku ingin menghantamkan badanku sendiri ke dinding, Yoon. Karena aku tidak bisa berfungsi dengan baik setelah itu. Semuanya jadi semu. Hal yang bisa aku lakukan adalah mengalihkan semua yang ada ke tugas yang harus aku selesaikan."

"Kamu tidak bisa menerima kenyataan yang ada."

"Tidak perlu diingatkan. Aku tahu apa yang pikirkanku lakukan dan memang aku tidak mau menerima kenyataan yang ada. Aku selalu percaya kalau tidak ada hal yang lebih sulit ketimbang jurusan yang aku ambil, tapi di sinilah aku. Dengan perasaan hancur yang bahkan aku sendiri tidak bisa deskripsikan." Jimin melihat lantai yang masih sedikit basah. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus bersikap ke orang lain."

"Satu yang harus kamu tahu adalah, menerima bukan berarti kamu kalah."

"Aku kalah dengan keadaan."

"Konsepnya bukan seperti itu, Min. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sudah cerita ke siapa saja soal ini?"

"Cuma kamu. Yang tahu kenyataan bahwa Jeongguk tidak ada di sini."

"Aku bertanya, sudah cerita ke siapa saja soal soulmate mu ini? Bukan cuma kenyataan kalau dia tidak ada bersama kita di sini."

Jimin berpikir lagi. "Mulai dari Hoseok sampai NamJoon. Dan yang terakhir adalah kamu."

"Satu dari empat orang itu pasti punya saran yang bisa kamu lakukan."

"Kalau kamu?"

"Maksudnya?"

"Kamu punya saran apa untuk keadaan aku sekarang ini?"

"Look. Dia ada di tempat yang berbeda tapi Tuhan menggariskan kalian berdua untuk bersama. Kalian bukan tidak ditakdirkan untuk bersatu, cuma belum waktunya saja. Di dunia ini, semua butuh masa, Jimin. Kamu butuh belajar dari apa yang sudah menimpa kamu dan Jeongguk, di luar sana, butuh menyelesaikan hal lain sebelum kalian bisa disatukan."

"Wow."

"Apa?"

"Baru kali ini kamu bicara panjang sekali." Jimin terkikik. "Aku tidak bisa percaya pada semua orang, Yoon. Termasuk aku sendiri. Semua berkata kalau aku bisa bersanding dengan Jeongguk tapi lihat kita sekarang?" Jimin melihat tetes hujan yang mulai jatuh membasahi kota. "Menyedihkan."


.

.

MetanoiaWhere stories live. Discover now