4. 𝑨𝒘𝒂𝒌𝒆

1.5K 285 19
                                    

Jimin

"Ini betulan manusia?"

"Kamu pikir?"

Ruang kerja SeokJin berdebu. Identik dengan orang yang berkutat langsung dengan benda-benda yang harus digali lebih dulu. Banyak kuas berserakan di lantai dan meja kayu. Meski objek-objek sudah aman ada di dalam lemari kaca. Beberapa ada yang mengkilap seperti emas, ada yang berbentuk batu pahat atau bahkan satu buah gigi kecil. Jendela ruangan sengaja ditutup, cuma udara ventilasi yang diijinkan masuk. Meminimalisir informasi yang bakal dibawa angina kemana-mana.

Jimin berkeliling melihat-lihat tanpa boleh menyentuh. Mengingat orang yang sedang berkutat di balik personal computer itu sedang fokus mengerjakan sesuatu. Rekonstruksi ulang sebuah kota yang Jimin yakini bernama Pompeii. Banyak yang sudah membahas soal kota hilang dan baru ditemukan 1600 tahun setelahnya ini. Meski Jimin bukan salah satu di antara orang yang begitu mengindahkan simpang siur yang ada. Di sinilah ia dengan pakar langsung yang sudah pernah terjung sendiri ke lapangan bersama dengan ribuan orang membeku yang dekat dengan kaki gunung Vesevius di Romawi.

"Ini boleh dipegang tidak?" Jimin takut-takut menunjuk sebuah batu kerikil kecil yang ia rasa sangat tidak berguna. Mungkin bekas pahatan yang baru saja SeokJin lakukan pada benda yang lain untuk mendapat sebuah benda baru. Barang untuk diteliti lagi.

SeokJin menengok dari balik layar monitor. Mencoba melihat benda apa yang sedang ditunjuk oleh tangan mungil Jimin. "Boleh. Asal jangan sampai hilang. Kenang-kenangan itu."

"Batu ini? Jangan bercanda, deh, ya. Di depan rumah juga banyak batu seperti ini, kak."

"Memangnya aku ada bilang itu batu yang aku pungut di depan rumah?"

"Tidak, sih." Jari Jimin memutar-mutar guna melihat setiap sisi batu yang lumayan di genggaman tangannya. Meski ia tidak memungkiri kalau ini tidak kelihatan seperti batu yang pernah ia temui tapi Jimin masih bersikukuh, ini adalah batu pada umumnya. "Apa spesialnya batu ini?"

"Bagian spesialnya adalah batu itu aku bawa dari Ephesos. Kota bekas peninggalan Kekaisaran Romawi di Turki. Waktu jalan-jalan ke sana, batunya menggelinding. Awalnya mau aku kembalikan tapi pemandu wisatanya bilang kalau tidak apa-apa. Cuma batu kecil."

"What the hell? Pantas saja tekstusnya asing." Jimin buru-buru meletakkan batu itu di tempat semula. "Apa tidak ada benda tidak penting di sini? Kok, setiap apa yang aku pegang semuanya punya nilai sejarah."

"Di sini semuanya penting. Kamu tahu di mana tempat yang tidak penting?"

"Di mana?"

"Rumahmu."

Jimin mengerlingkan mata. Tidak heran dengan jawaban SeokJin yang pasti bakal membuat orang awam sakit hati. Nyatanya ia yang sudah sejak dua tahun terakhir bermain dengan benda-benda di kediaman SeokJin juga sedikit-sedikit punya pemikiran serupa. Kalau tidak ada yang tidak penting di kediaman SeokJin. Setiap ia masuk, Jimin selalu disuguhi aroma kertas usang dan kopi yang menangkan. SeokJin bilang kalau satu-satunya aroma buatan cuma kopi saja. Ia tidak ambil kendali soal aroma buku tua yang SeokJin sendiri mengaku juga menyandera indranya.

"Aku dengar dari Hoseok, kamu sudah bertemu dengan soulmate mu, ya? Selamat." SeokJin menyeruput teh hangat buatannya sendiri yang masih mengepulkan asap tipis-tipis.

"Belum bertemu dengan orangnya."

"Lalu?"

"Dia cuma sudah mampir di otak. Mungkin sudah sekitaran lima bulan yang lalu."

"Hampir setengah tahun sudah. Kamu tidak berniat bertemu dengan dia?"

Jimin menggeleng. Bukan karena ia tidak setuju untuk bisa bertatap muka dengan orang yang selama ini ia tunggu. Lebih pada ia yang bahkan sudah hampir di ambang batas percaya. Ia sudah mencari anak unggulan di seluruh Korea. Dan ia ragu kalau harus mencari anak unggulan di pelosok dunia. Bisa saja yang muncul bukan orang yang diharapkan. Jumlah murid juga tidak bisa dihitung pakai jari lagipula. "Kendalanya adalah aku belum bisa menemukan orangnya."

"Kamu tidak tanya dimana dia tinggal?"

"Lupa, kak. Aku selalu mengingat-ingat itu tapi waktu kita berbicara selalu kelupaan."

"Kamu harus bertanya, dong. Bagaimanapun juga dia orang yang bakal bersanding dengan kamu. Meski tidak sekarang, tapi di masa depan. Sakit sekali, lho, ketika tidak bisa bertemu. Kamu tidak merasakannya?"

"Aku tidak tahu." Jimin kembali mengingat-ingat. "Oh, iya. Aku bahkan baru sadar kalau beberapa minggu terakhir memang badanku pegal-pegal tidak terkontrol dan sensitif ke orang. Seperti mereka mencoba menyindir apa yang aku lakukan meski sebenarnya aku juga tahu kalau itu tidak mungkin."

"Sebelum bertemu dengan Namjoon, aku juga begitu."

Jimin menengok ke jendela. Kacanya lebar membentang dari sudut kanan sampai kiri, atas sampai bawah. Di luar sana cuma ada dedaunan mengingat mereka ada di lantai tiga rumah kediaman SeokJin. Dahan pohonnya sedikit-sedikit mengetuk jendela. Sisa embun menetes dan Jimin tidak pernah merasa begitu menyatu dengan momentum. "Kalau dipikir-pikir, konsep dari Tuhan ini memberatkan sekali."

SeokJin cuma curi pandang sebentar.

"Bagaimana nasib orang yang ditinggal mati oleh soulmatenya, ya? Apa mereka bisa hidup sendirian tanpa punya rasa percaya pada orang lain lagi setelah apa yang menimpa mereka."

"Jimin."

Jimin menoleh sebentar. Bersandar ke meja beton yang sengaja di sediakan di setiap sisi ruangan.

"Kamu dilarang kehilangan dirimu sendiri ketika sedang jatuh ke orang lain. Tujuan utamanya supaya kamu tidak kehilangan badan, pikiran, dan jiwa kamu ketika separuh hidupmu diambil."

"Ayolah, kak. Konsep mencintai diri sendiri itu bullshit."

"Aku bahkan tidak menyuruh kamu mencintai dirimu sendiri."

"Nah, terus?"

"Paling tidak, jangan sampai kamu bergantung pada orang lain. Walaupun itu soulmate sekalipun. Kamu bisa gila kalau ditinggal mati olehnya. Kamu cukup percaya pada dirimu sendiri. Seperti yang kamu lakukan sebelum bertemu dengan soulmate mu."

Jimin kembali melihat embun yang bertetes ke kaca jendela. "Apa kamu juga begitu?"

"Semua orang seperti itu. Termasuk aku."

"Tidak tahu, ya, kak. Aku belum pernah percaya pada orang lain. Jika diberi kesempatan oleh Tuhan untuk percaya pada soulmate ku, aku tidak keberatan menjadi gila dan menari bersama kenangan kita berdua semasa dia masih di dunia ini."

SeokJin beranjak dan mendekat ke beton yang Jimin sandingi. "Percaya, deh, kamu bakal bertemu dengan dia. Meskipun kalian dipisahkan waktu sekalipun, kalian bakal bertemu di satu masa yang sudah ditentukan."

Mereka saling pandang lima detik.

"Aku tidak berharap banyak untuk yang satu ini, kak," Final Jimin setelahnya.


.

.

MetanoiaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon