9

1.1K 249 37
                                    


Jeongguk

Lembar ke tiga belas sudah berhasil dibuka. Buku jurnal yang selama ini ia bawa makin lama, makin usang. Tidak pernah terjamah sampai tiga hari yang lalu. Ketika seluruh pikiran dan kekhawatiran memuncak di ubun-ubun, Jeongguk enggan memberitahu siapapun. Bahkan angin yang melanda dan laki-laki dengan suara tinggi di seberang sana.

Satu minggu terakhir penuh dengan jadwal yang membuat Jeongguk ingin libur barang sehari. Tapi ia tidak bisa mengkhianati beasiswa nya yang sudah menanggung. Berada di keluarga berkecukupan sebenarnya membantu ketika Jeongguk sedang ingin main ke tempat yang ia inginkan. Kemanapun di penghujung dunia.

Batinnya berat sebelah. Terlalu banyak yang jadi beban. Terlalu banyak keinginan yang belum tersampaikan. Tidak ada sinkronisasi antar otak yang bisa membuat badannya tidak gemetar ketakutan akan masa depan. Jeongguk diam-diam bengong dan memilih untuk bungkam ketimbang menambah masalah baru dengan melampiaskan ke arak atau wine yang sudah legal ia minum. Tidak sebelum ia bisa memenuhi batinnya yang kosong, sampai ia bisa bertemu dengan orang yang ditakdirkan.

Garis-garis halus dibentangnya dan membentuk sebuah lukisan indah. Membayangkan betapa cantik dan indahnya pasangan yang disediakan oleh Tuhan. Senyumnya yang bakal seperti sinar matahari, membuat hati Jeongguk hangat pelan-pelan. Kalimat-kalimat ringan yang selalu dilontarkan sudah menjadi hal yang ia tunggu ketita malam datang. Ia harus sudah ada di kamar asrama sebelum pukul lima sore.

Ia beralih menulis sesuatu. Soal harinya yang berat, bagaimana ia bisa melewati mata pelajaran mengerikan dengan guru yang tidak bisa diajak kerjasama dengan baik. Keluh kesah yang tidak bisa diutarakan juga turut ikut memeriahkan halaman.

"Malam, Jeongguk." Suara itu datang menyapa. Lembut nian bagai angin yang tidak sengaja menerpa wajah. Jeongguk tersenyum memandang kaca jendela yang membentang di balik meja belajarnya.

"Tumben sudah pulang." Masih pukul enam sore dan Jimin memang biasanya bisa berkomunikasi dengan Jeongguk sekitar pukul tujuh malam. "Biasanya kamu bakal menghubungi sedikit lebih malam."

"Kelas selesai lebih awal. Aku saja baru selesai kembali dari café."

"Mengerjakan tugas?"

"Bukan. Ada teman yang mengajak dan memberi tumpangan. Jadi sayang kalau tidak diterima." Jimin terkikik. Jeongguk bisa dengar ia meletakkan tas jinjing dan mulai mengganti pakaian lewat suara-suara gemerisik yang ditimbulkan.

"Laki-laki? Perempuan?"

"Laki-laki."

"Teman? Kakak angkatan?"

"Teman, kok."

"Oh."

"Kamu kedengaran tidak senang, ya. Atau ada yang mengganggu pikiran?" Jimin merebahkan diri di kasur dan agaknya mulai membawa pembicaraan ke ranah yang lebih serius.

"Tidak, kok. Aku cuma berpikir kalau orang yang bertemu kamu setiap hari tidak pernah sadar betapa mereka sangat beruntung. Aku yang sudah digaris merah saja tidak bisa bertemu."

Jimin diam saja. Merupakan suatu kesalahan besar membuat Jeongguk jadi diam di kala mereka bercakap. "Aku tidak bermaksud membuat kamu berpikir seperti itu."

"Aku tahu." Jeongguk tersenyum pasrah. Toh, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima.

"Sedang apa? Senyap sekali sepertinya di sana, ya?"

"Teman sekamarku belum pulang. Sudah jadi kebiasaan sejak awal masuk. Aku jadi tidak heran kalau dia bahkan tidak tidur di sini."

"Kalian bertikai?"

"Hampir tidak bernah berbicara sama sekali, Jim. Namanya Bambam. Nama aslinya, aku tidak bisa sebutkan. Kalau tidak salah, sedikit kurang sopan menyebutkan nama asli karena sudah ada nama panggilan." Jeongguk beranjak, menyandarkan badannya di kusein jendela dan melihat gang-gang sekitaran asrama yang sudah sepi. "Dia bukan dari sini juga."

"Maksudnya?"

"Asalnya bukan dari sini."

"Orang luar juga seperti kamu?"

"Begitu." Jeongguk berdehem. "Bambam dari Thailand. Aku tidak tahu kota yang ditempati keluarganya dimana. Seperti yang sudah aku bilang, bicara saja sudah jarang. Bertegur sapa sudah untung."

"Jeongguk."

Ponsel Jeongguk bergetar pelan di atas meja. Menyebabkan suara nyaring tidak nyaman yang membuat Jeongguk harus segera menyelamatkan indra pendengaran. Dibukanya pelan kunci sandi dengan pesan singkat yang didapat dari teman sebangku. Soal tugas yang harus diselesaikan minggu depan dan beberapa hal yang butuh segera didiskusikan.

Jari lincahnya mengetik dan segera meletakkan telefon genggamnya kembali ke meja.

"Maaf, Jimin. Ada pesan masuk."

"Iya, tidak apa-apa. Tugas, ya?"

"Iya. Ini membuat aku ingin lari kemana saja."

"Kejenuhan itu perlu. Ya, meski tidak harus setiap saat. Tapi dengan perasaan itu, kamu bisa tahu limit dan cara mengatasinya."

"Apa yang bakal kamu lakukan kalau sedang jenuh?"

"Minum secangkir cokelat panas dan melihat manusia."

"Tunggu." Jeongguk terpingkal-pingkal. "Kamu bicara seperti itu seakan kamu bukan manusia dan satu di antara kami."

"Maksudku adalah melihat orang lain. Cuma melihat saja, supaya tidak merasa kesepian. Membantu, lho. Aku bisa rasakan kalau bukan hanya aku saja yang sedang berjuang di dunia ini." Jimin mendapat poin penting di sini.

"Aku setuju."

"Jeongguk."

"Hm."

"Apa kamu juga melihat rasi bintang Libra di langit? Sekarang."

"Aku tidak tahu rasi-rasi seperti itu. Di sini sedang berawan dan sedikit gerimis. Sepertinya bakal mendung dan bintang tidak akan kelihatan dengan cuaca seperti ini."

"Jeongguk. Boleh aku tanya?"

"Tentu."

"Apa kamu di Bumi?"

Jeongguk diam sebentar, berpikir. Pertanyaan ini adalah satu-satunya yang membuat ia bingung. "Sebentar."

"Kamu di Bumi, kan? Nama planet yang kamu tempati."

"Bukannya J1407b?"


.

.

MetanoiaWhere stories live. Discover now