6. 𝑺𝒕𝒊𝒈𝒎𝒂

1.2K 244 5
                                    


Jimin

Jimin tidak tahan. Sudah lima bulan ia tidak menjamah pasir pantai. Sesuatu yang selalu ia suka selain hujan dan bauan tanah basah. Segar bukan main sampai Jimin pasti bakal lupa kalau ia sekarang tidak sendiri. Terik matahari tidak jadi penghalang untuk ia yang dasarnya memang batu. Susah dibilang dan sekarang cuma pakai celana pendek dan bakal segera menghilang di air. Berenang meski tidak harus terlalu menengah.

Hari sabtu memang paling pas. Pantai tidak begitu ramai dan tidak terlalu sepi. Jimin ditemani orang paling berharga di hidupnya selain orang tua. Sosok yang sudah menemaninya sedari kecil dan selalu ada untuk Jimin di masa apapun. Ia berdoa untuk Tuhan agar tidak mengambil orang ini lebih dulu. Mana bisa Jimin hidup lebih lama tanpa support system yang layak. Dan Taehyung adalah satu dari sekian orang yang membuat Jimin masih percaya bahwa kasih masih ada di dunia. Meski tidak untuk dikejar, cukup dengan membuat Jimin percaya dan bisa melanjutkan hidup dengan baik.

"Kamu memang benar kayak setan, Jim!"

"Ha?" Jimin berteriak. Memang tidak mungkin bisa terdengar meski Taehyung juga sudah menaikkan volume berbicara. Mereka ada di jarak sekitar lima meter dengan debur ombak yang jadi backsound. Pas sekali kalau mau lari-larian dan ditemani dengan musik India. Bakal jadi video clip yang lari manis.

Taehyung berjalan pelan-pelan ke Jimin sambil berkacak pinggang. Memasang wajah garang, semarah mungkin untuk membuat sahabatnya bisa menarik diri dari kesenangan sebentar. "Jam berapa ini? Kamu menarik aku yang belum mandi bahkan, kemari!"

Jimin diam sebentar. Mulai merasa gelagat tidak enak meski ia nyatanya seratus persen tidak bisa dengar apa yang Taehyung teriakkan. Apa yang membuat ia jadi kelihatan kesal saja, Jimin enggan pikirkan. "Sebentar." Ia keluar dari air. Membawa kakinya yang berat ditarik pasir pantai yang basah. "Kamu ngomong ke aku?"

Taehyung mengerlingkan mata.

"Oh." Jimin menampik butir pasir yang mulai mengering di celananya. "Ada apa? Kalau kamu sudah pasang wajah seperti itu, aku pasti melakukan sesuatu yang salah."

"Salah tidaknya, relatif." Taehyung berganti posisi jadi menyilangkan lengan di atas dada. Melihat ke debur ombak di balik badan Jimin yang mulai menyentuh ujung kakinya. "Ini jam delapan pagi. Aku kira kamu bercanda mau mengajak ke pantai. Aku bahkan belum mandi dan makan, lho, Jim."

"Terus?"

"Ya, aku lapar."

"Bilang!"

"Aku bilang barusan!"

"Stop yelling, Kim."

"You did it first!"

Jimin meneduhkan diri di bawah pohon yang sengaja ditanam di tepi pantai. Jauh dari bibir yang dibuai ombak, ia menata badannya sendiri senyaman mungkin. Ini pantai perawan. Jarang pedagang dan dan membuat Jimin sengaja membawa makanan dari rumah. "Makan sini." Tangan Jimin melambai kemudian menepuk sisi pasir yang kosong di samping.

"Bawa apa saja, tadi?" Taehyung datang dan berjongkok di hadapan. Melihat sandwich yang Jimin makan dengan beberapa gigitan yang sudah dijadikan teritorial kalau itu miliknya.

"Aku bawa dua yang seperti ini. Jangan melihat punyaku seperti itu. Aku beli sama persis, kok."

"Rumput tetangga, kan, memang lebih hijau."

"Kamu mau bicara soal rumput di pantai? Okay, go on. Kalau tidak unik, memang bukan kamu."

"Bukan begitu." Taehyung mengambil duduk di samping kiri Jimin. Mencuri pandang kemana arah mata Jimin berlabuh. Debur ombak sudah jadi favorit keduanya meski Taehyung agaknya sedikit kurang siap dibawa kemari. "Makanan orang lain pasti kelihatan lebih enak walaupun sama persis seperti apa yang kita makan."

"Kita?"

"Aku, maksudnya. Haduh, jangan jadi sensitif begitu, deh. Malas."

Jimin enggan menjawab. Pertikaian kecil memang dibutuhkan, tapi kalau sampai besar, jadi buang tenaga. "Beruntunglah kamu, aku tahu maksudnya."

"Ya, ya. Terserah Yang Mulia saja."

"Anyway." Jimin merebahkan diri di bawah naungan bayangan pohon. Angin pantai memang tidak pernah mengecewakan. "Bagaimana uang kuliahnya? Sudah ada?"

"Kamu tahu betul bagaimana Kakak laki-laki ku, Jim. Tidak semudah itu dapat uang dari dia."

"Itu uang warisan, padahal. Kalau memang benar itu ditulis atas nama kamu semuanya, bakal lebih mudah membawanya ke jalur hukum. Kamu tidak mendapat apa yang kamu butuhkan, lho."

Taehyung cengengesan. "Mudah untuk dikatakan. Tapi kalau sampai kakakku ada di penjara, semua bakal balik ke titik nol. Aku tidak mau, ah, kalau harus mengurus semuanya sendiri. Bayar listrik, air, pajak, dan yang lainnya. Bisa gumoh aku."

"Wali mu?"

"Kamu bicara siapa di sini?"

"Wali. Apa aku harus menjelaskan arti katanya, Tae?"

"Kalau kamu bicara soal paman yang selama ini mengasuh, tidak mungkin. Aku punya nurani untuk tidak mengusik rumah tangganya yang sudah berantakan dengan kehadiranku. Memang bisa ada kemungkinan untuk mereka sungkan bertengkar di depan ku, tapi kesempatan untuk menghancurkan juga terbuka lebar, sayang." Taehyung melahap gigitan terakhir roti lapis yang ada di genggaman.

"Mau tinggal denganku?"

"Dan merepotkan kak Hoseok?" Taehyung berdecih. "Tidak, deh. Terimakasih. Aku tidak mau kamu juga dicap sebagai orang yang tidak tahu diri."

Jimin merasa Taehyung benar dalam segala aspek di sini. "Sudah, sudah. Kita kemari untuk melupakan masalah sebentar. Maaf malah justru mengingatkan. Aku cuma mau masalah kamu cepat selesai supaya tidak menambah beban pikiran. Aku bosan melihat kamu tidak fokus di kelas."

"Jangan dilihat kalau begitu."

"Bagaimana? Kan, kelihatan."

"Cari yang tidak kelihatan." Taehyung menjeda, membiarkan Jimin untuk berpikir. "Ketemu?"

"Sepertinya."

"Apa?"

"Soulmate ku."

Taehyung menghela napas. "Kamu yang bilang kalau lupakan masalah tapi kamu yang selalu bawa masalah kemari."

"Kalau yang satu ini, aku tidak bisa tidak kepikiran. Sumpah." Jimin melihat langit sarat awan. Udara sekitar membuat dahan dan ranting jadi terombang-ambing. Suasana pantai yang pas.

"Aku lupa. Seharusnya aku bilang lebih awal soal ini." Taehyung menenggak minuman soda dingin dengan Jimin yang sudah mengambil ancang-ancang untuk duduk dan mendengar kalau penting. "Kamu bisa bertemu dengan soulmate mu pukul satu sampai tiga dini hari, Jim. Aku tidak tahu ini membantu atau tidak. Tapi dia bisa melakukan sesuatu yang biasa kamu lakukan. Kamu, kan, kalau malam pasti mengambil air putih di lemari es. Siapa tahu, dia juga melakukan hal serupa cuma kamu saja yang tidak sadar."

"Memang bisa?"

"Aku bilang, aku tidak tahu pasti. Tapi banyak orang yang melakukan dan memang ketemu."

"Wow. Dapat darimana informasi ini?"

"Kalau kamu baca koran dan internet, tidak melulu bekutat dengan buku-buku di meja belajarmu itu, kamu bakal tahu soal ini."

"Terimakasih pujiannya."

"Nerd."

"Asshole."

Dan mereka tertawa bersama.


.

.

MetanoiaWhere stories live. Discover now