8. 𝑹𝒆𝒇𝒍𝒆𝒄𝒕𝒊𝒐𝒏

1.2K 247 37
                                    

Jimin

Pukul tiga sore.

Jimin buru-buru meletakkan seluruh barang yang diperlukan untuk bisa berkunjung ke tempat yang ia impi-impikan. Ruangan khusus yang digunakan oleh kakak angkatannya di kampus. Seorang mahasiswa Astronomi dengan kepintaran di atas rata-rata. Jimin kadang bertanya mengapa pemuda itu tidak mau menjadi dokter saja. Ia berkilah kalau masih banyak dokter yang belum mumpuni. Dengan NamJoon yang menjadi salah satunya, mungkin bisa menolong orang yang belum mampu membayar. Ia sepintar gajah, pasti bisa me manage kehidupan kedepan.

Sudah sampai mana, Jim?

Poselnya bordering, menandakan pesan singkat baru saja masuk.

Masih di rumah. Tolong tunggu sebentar, ya. Maaf kalau makan waktu. Habisnya mendadak sekali. Haha.

Santai, santai. Aku baru saja pulang kelas. Untungnya cuma ada dua jadi aku sempatkan. Kamu bilang kalau ingin mampir ke rumah sudah dua bulan yang lalu. Aku yang harusnya minta maaf karena tidak ada waktu.

Kamu dikaruniai kebaikan asal jangan sampai ditipu orang. Aku yang bakal ketawa paling kencang.

Sebenarnya aku juga pasti ketawa kalau sudah sepintar ini tapi bisa-bisanya tertipu. Haha. Bodoh kalau memang iya.

Anyway, NamJoon. Aku berangkat dulu, ya. Ttyl.

Iya. Hati-hati, Min. Ttyl.

Sepuluh menit dibutuhkan untuk Jimin mengendarai mobil menuju rumah khusus yang sengaja dibangun NamJoon sedikit lebih tinggi dari kediamannya yang asli. Kilahnya memang untuk riset yang dibutuhkan mengingat ia juga bekerja mengumpulkan informasi lewat buku dan saluran teropong yang menghubungkannya langsung dengan objek yang ada di langit.

Setelah memarkirkan mobil di garasi rumah yang ia sebut dengan Sangkar NamJoon, Jimin buru-buru memastikan semuanya aman untuk ditinggal. Berlari kecil ke arah pintu dan menemui kakak angkatannya yang masih lengkap dengan kemeja setelan hitam meski sudah berganti dari sepatu menjadi sandal rumah berbulu.

"Cepat sekali." NamJoon membuka pintu lebih lebar, memersilakan Jimin untuk segera masuk dan beristirahat lebih dulu sebelum memulai petualangan mereka di angkasa sebentar lagi. "Kamu mau aku buatkan kopi? Atau teh, begitu? Berpeluh sekali kamu."

"Iya. Tadi memang cepat-cepat." Jimin meletakkan tas berisi tiga buah buku Ilmu Pengetahuan, satu buah buku Astronomi dari NamJoon dan satu lagi buku catatan. Ia selalu menanti rasi bintang Virgo yang ada di langit. Mengingat bentuknya saja sudah bisa membuat Jimin tidur nyenyak, dan sekarang ia bakal bertemu dengan yang asli dengan bantuan teropong. "Boleh pinjam pena, kak?"

NamJoon berkutat dengan dua cangkir teh yang belum selesai dibuat. Menuangkan air panas dalam teko untuk beralih, mengalir ke serbuk-serbuk teh yang masih baru. "Boleh. Mau ambil sendiri atau diambilkan? Tapi menunggu aku selesai membuat minum." Tangan lincahnya seakan sudah terlatih untuk menerima tamu. Menghidangkan ala kadarnya memang satu dari beberapa hal yang harus NamJoon lakukan. Mengingat seluruh kawannya punya rasa perasaran yang hampir sama.

"Tidak perlu. Aku ambil sendiri saja, deh." Jimin beranjak. "Permisi, ya, kak." Mengambil kotak pensil NamJoon dalam tas ransel hitam yang sejatinya digunakan untuk membawa laptop. Mungkin NamJoon malas berganti karena hampir setiap hari juga hidupnya ditemani benda persegi itu.

"Sip, sip." NamJoon meletakkan dua cangkir yang sudah jadi ke meja dan duduk di sofa tunggal. "Kenapa kamu suka sekali dengan rasi bintangnya. Padahal kalau dilihat-lihat, aku lebih suka Aquarius."

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang