Keberangkatan

7 8 2
                                    

Al beberapa kali menelpon Darren, anak basket yang merangkap menjadi pacarnya, mainstream memang kisahnya. Dirinya sengaja menerima Darren hanya untuk meniru kisah percintaan dari karakter kesukaannya disebuah novel. Namun sapa sangka Al akhirnya mencintai pacarnya itu

Sudah puluhan kali dia menelpon Darren tapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban. Padahal hari ini adalah hari terakhirnya di kota ini, Martha dan Vio pun tidak bisa dihubungi sejak diklub waktu itu.

"Sesibuk apa sih mereka sampe gue mau pindahan bukannya ngucapin see you kek, malah ilang." Al mengerucutkan bibirnya sambil memainkan ponselnya.

"AL CEPETAN TURUN KITA MAU BERANGKAT!" teriak Diana dari lantai dasar. Sedangkan Al melirik sendu foto polaroid dengan sahabatnya yang sengaja ia tinggalkan di sini.

"Jadi pengen berhentiin waktu" batinnya lirih.

Diraihnya hoodie di kursi meja belajarnya, kemudian ransel putih kesayangannya.

Ditatap seluruh kamarnya sekali lagi sebelum dirinya pergi meninggalkan kamar yang sudah ia anggap istananya sendiri. Kemudian ia mengunci kamarnya dan turun menyusul mamanya yang tampak mengecek barang di tasnya.

***

Saat memasuki bandara Al mencoba menghubungi Darren atau pun kedua sahabatnya namun hasilnya sama saja, tak ada jawaban. Membuatnya kesal dan mematikan daya ponselnya.

Diana duduk disamping Al, sesekali melirik anaknya yang sedang cemberut sambil ngedumel ga jelas.

"Kamu harusnya seneng, tempat baru kita itu masih asri, jarang macet ga kalah bagus sama jakarta." Ujar Diana santai sambil mengetik di laptopnya yang Al yakini pasti itu pekerjaan kantor.

"Gimana mau seneng kalo dipaksa jauh dari sahabat sama pacar sendiri," Al mendengus sebal dan menatap ke arah jendela pesawat.

"Sahabat ? Bahkan mereka datang pas butuh aja kan," Diana menghentikan aktivitasnya kemudian beralih menatap Alvira.

"Mereka juga pasti temenan sama kamu cuma buat dijadiin ATM berjalan. Sahabat macam apa yang ga dateng di saat sahabatnya sendiri mau pergi." Sambungnya, Diana sengaja berkata hal seperti itu agar anaknya sadar dengan keadaannya saat ini, namun hanya dibalas decakan sebal oleh Al.

"Ya mungkin aja mereka sibuk. Udah deh mama ga usah sok tau tentang mereka. Cuma mereka yang bisa ngertiin aku didunia ini." Al memasang earphone nya dan menatap jendela dengan ekspresi yang tidak tergambarkan.

Perkataan Al terdengar alay memang namun itu yang ia rasakan selama ini hingga beberapa hari lalu.

Sebenarnya Al merasa ada yang tidak beres dengan sahabat dan juga pacarnya dan merasa tidak nyaman dengan semua itu. Namun ia tidak ingin berpikiran negatif tentang mereka.

***

Tak terasa dirinya sudah sampai di kota tujuannya. Satu kata yang mencerminkan rumah yang ada di hadapannya, Asri.

Al berjalan di belakang mamanya sambil membawa koper dan ransel putih kesayangannya, sisanya ? Sudah dibawa oleh orang suruhan mamanya. Sebenarnya dirinya tidak membenci Diana hanya saja beberapa sikap Diana membuat Al jengah, terutama dengan betapa sulitnya Mamanya mengatakan iya kepada dirinya. Tapi itu imbang dengan permintaan Al yang selalu tidak pantas untuk anak wanita seusianya.

"Sebenernya gue harus seneng atau sedih sih ?" Gumam Al melihat koper-kopernya.

Rumah Alm. Neneknya bukanlah rumah yang buruk. Rumah kuno yang lumayan luas dan masih asri dengan beberapa pohon kecil di halaman. Ingatannya berputar memori lama saat dia, kedua orang tuanya dan neneknya bersantai di halaman seolah-olah sedang piknik.

Al tersenyum kecil mengingat semua itu.

▪▪▪▪▪ to be continued

Gimana ? Belom ada rasa sama ceritanya ?
Tenang, anggep aja ini masih awal. Eh emang masih awal sih.

Udah ah
See you . . . 😙

Stupidity For AlviraWhere stories live. Discover now