Bagian Keenam

47 16 5
                                    

: Kenyataan :

Aku terbangun lebih cepat.

Perasaanku benar-benar tidak mengenakkan semenjak kemarin. Selain karena Kazunari tidak mengangkat teleponnya juga karena resepsionis di depanku menyatakan bahwa Tuan Kazunari Takao memang tidak kembali semenjak santap siang kemarin hingga usai sarapan hari ini. Ia bahkan menitipkan pesan pada nona sekertaris untuk menyampaikan padaku agar tidak pergi kemana pun sampai ia kembali.

Oh, ayolah. Mentari kian tinggi dan dengan kegelisahanku yang semakin meluap-luap Kazunari juga tidak kunjung kembali. Takeru, sepertinya punya agenda baru semenjak kemarin—mengingatkanku untuk datang ke pertunjukannya. Setelah sedikit desakan, ia bilang bahwa ada hal yang hendak disampaikannya.

Hal apa?’

‘Bukan hal yang bisa dibicarakan melalui telepon. Kita harus benar-benar bertemu.’

Bukannya pongah karena tidak mengindahkan pesan dari Kazunari padaku. Tapi, sungguh. Aku sudah lebih dulu berjanji dengan Takeru untuk hadir di pementasannya daripada saat Kazunari mentipikan pesan tersebut. Mengingkari janji akan menjadi hal terakhir yang kulakukan di dunia ini. Dan, dengan prinsip seperti itulah. Kulangkahi karpet selamat datang yang terbentang di pintu lift sampai luar aula utama hotel, memasuki pintu taksi dan menyebutkan tempat yang pernah diberitahukan Kazunari padaku—tempat pementasan kyogen itu akan dilangsungkan.

Hanya butuh sepertiga jam untuk tiba di lokasi, aku langsung melangkahkan kaki memasuki gedung teater dan berdasarkan petunjuk yang sudah diberitahukan Takeru padaku melalui pesannya, aku tidak kesusahan untuk menemukan bangku bernomor sama dengan yang ada di tiket.

Gedung teater itu penuh, kursi di sebelah kananku kosong. Harusnya bangku merah empuk itu ditempati oleh Kazunari, namun hingga acara di tengah-tengah panggung bundar—beberapa meter dari tempatku berada dimulai—tidak ada tanda-tanda kedatangan pria itu, bahkan setelah dihubungi berulang-ulang sama sekali tidak ada balasan. Lain halnya dengan Takeru, dari tempatku duduk bisa kulihat dirinya melambaikan tangan dari balik tirai di belakang panggung. Ia mengenakan kimono putih yang sangat sederhana dengan topeng di atas kepalanya.

Pertunjukan berakhir dengan seketika, gedung teater seolah bergemuruh akibat riuhnya tepuk tangan. Di saat bersamaan ponselku bergetar, satu pesan masuk dari Takeru dan nihil dari Kazunari. Kubuka pesan dari Takeru, ia memintaku untuk menemuinya dengan cara memutari gedung teater dari luar. Kemudian memasuki pintu yang sudah sengaja ia buka untukku, tepat di belakang gedung ini. Tidak perlu berlama-lama setelah membaca, aku mengikuti instruksinya; mengulangi hal yang sama seperti pada saat ia menuntunku untuk masuk ke dalam gedung teater hanya dengan pesan teks.

Aku melihat Takeru di sana, ia berdiri dengan wajah amat serius di hadapan kursi kayu. Wajahnya yang rupawan diterpa sinar lampu yang temaram, gelak tawa terdengar dari ruangan tak jauh tempat pemuda itu berdiri sambil bersedekap dengan alis yang ditekuk sedalam-dalamnya seolah sedang memikirkan hal yang benar-benar penting.

“Takeru, ada apa?” Tanyaku langsung sambil menepuk lengannya pelan. Siapa sangka ia terkejut dengan keberadaanku di sana.

Dengan mata membeliak, Takeru mengucapkan kalimat yang aneh. “Kau … bisa datang kemari?” Katanya, membuatku mengerutkan kening. Apa dia sudah tidak waras? Pikirku.

“Tentu saja. Memangnya kenapa? Pertanyaanmu aneh sekali,” Balasku dengan nada sinis.

Menyadari ketidaknyamananku Takeru cepat-cepat berdeham, kemudian mempersilakanku untuk duduk yang langsung kuturuti tanpa banyak bertanya. Lebih daripada perasaan kesal, aku lebih memilih mendengarkan apa yang sebenarnya hendak ia katakan.

Pria berambut panjang hingga nyaris menyentuh kerah kimono-nya itu mengeluarkan sebuah koran dari dalam laci meja, menyerahkannya padaku setelah sebelumnya memintaku untuk membacanya dan mencermati apa isinya.

Setengah tidak mengerti, aku mulai menelaah koran lusuh yang ketikannya masih dapat terbaca di bawah sinar kuning bohlam. Kurang dari tiga menit, tubuhku serasa kehilangan tulangnya, koran-koran itu berserakan di bawah kakiku, air mataku mengucur dengan deras layaknya keran yang baru saja dihidupkan, bibirku terbuka namun lidahku kaku.

Koran itu menyatakan, bahwa seorang wanita berusia 25 tahun yang telah koma selama bertahun-tahun di rumah sakit ternama Tokyo akhirnya akan dilepaskan juga alat-alat kesehatan yang selama ini menunjang hidupnya. Dan wanita tersebut bernama [name] Takao.

Sungguh! Sungguh tidak bisa dipercaya! Jadi maksudnya … aku ini sedang koma? Jika benar aku sedang koma, lantas … siapa aku?

Kutatap Takeru dengam perasaan terluka. Tidak pernah aku merasa begitu tersakiti lebih dari hari ini. Pemuda di hadapanku hanya berkata bahwa sedari awal ia sudah mengetahui bahwa entitasku ini palsu, bukan raga sejati. Aku adalah ruh penasaran yang tak bisa pulang, dan Takeru juga pria di kedai ramen. Adalah orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan khusus untuk melihatku. Semua. Semua hal yang sudah kualami semenjak kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuaku beberapa tahun yang lalu. Semuanya hanya khayalan, makanan yang kusantap, pekerjaan yang kulakukan, bahkan udara yang kuhirup, pesan-pesan dari Takeru itu tidak ada—alasan mengapa dia terkejut melihatku tiba-tiba saja berada di balik panggung. Semuanya hanya khayalan. Ini bukan hidup, ini hanya tidak mati. Aku koma.

Takeru menjelaskan dengan perlahan-lahan, bahwa semakin hari raga dan ruhku menjadi semakin lemah. Ini karena jarak yang membentang antara tubuh asliku dan aku yang sekarang.

Terlebih, kini aku di Osaka. Bermil-mil jauhnya dari Tokyo.

Lalu, biang dari semua ini adalah Kakakku sendiri, Kazunari Takao.

Ia adalah satu-satunya yang selamat dari tragedi yang menewaskan orang tua kami dan menyebabkanku koma. Takeru sudah menyelidikinya saat kali pertama bertemu denganku dan berkenalan. Ia merasa tak asing dengan namaku. Kazunari tidak berbohong soal karirnya. Ia sukses, namun cacat. Dan, kecacatannya semakin parah dari hari ke hari, mengancam posisinya di perusahaan, hingga kini ia butuh tubuh baru. Dengan sengaja, ia membuat dirinya koma. Hadir dalam dunia yang sama denganku, kemudian mempengaruhiku untuk menjalani hari-hari seolah-olah kami hidup.

Selama bertahun-tahun.

Ia menjauhkanku dari ragaku selama ini untuk membuatku lemah. Hingga tiba saat yang tepat, dia akan membawaku benar-benar jauh dari tubuhku—ke Osaka. Sementara dirinyalah, yang akan menghuni tubuh tersebut. Tubuhku. Ia akan merengut tubuhku, dia yang sudah membuatku jauh dari tubuhku, jauh dari kesadaran dan kini nyaris meregang nyawa.

Aku meraung-raung sambil menangis, mendengarkan penjelasan Takeru dan bukti koran di tanganku membuatku tak habis pikir. Takeru menatapku iba, ia mengulurkan tangannya. Menyentuh lenganku, hal yang tak dapat kumengerti.

Apakah ini juga khayalan? Takeru dan setuhannya. Ini … sentuhan hangat ini.

“Belum terlambat. Ayo kita susul dia. Kau masih ada di sini, bisa menyentuhku. Berarti ragamu masih ada. Aku akan membantumu, [Name]”

Orange Magic  » T. Kazunari ; Between awake and sleep ✔️Where stories live. Discover now